News

Saturday, September 11, 2010

Tim Redaksi
18-12-2007, 08:30
Anyone Can Play Manager! (Band Manager)
by
Junior Nizar

http://www.notlame.com/images/scenes/bru02.jpg


Apa sih tugas dari manager band? Saat akan mengirim demo rekaman, apa yang harus di lakukan manager? Promosi seperti apa yang harus di lakukan manager band?

Sepertinya jabatan manager band telah menjadi salah satu profesi yang menarik bagi belia, khususnya di Kota Bandung ini. Terlihat dari begitu banyaknya pertanyaan mengenai lika liku kehidupan manager band. Yah, semoga fenomena ini bisa terus berkembang sehinggan nantinya posisi manager band, terutama band indie, dapat disejajarkan dengan jabatan manager di perusahaan multinasional. Hehe, amin!

Yap, karena pada dasarnya tugas sejati dari manajer di perusahaan, organisasi, keluarga maupun band sama saja. Yaitu memanage apapun yang dipimpinnya agar bisa mencapai tujuan yang telah di cita-citakan atau yang dipercayakan padanya untuk dikelola. Perbedaannya hanya terletak pada ruang lingkup dan skala pekerjaan serta penghasilan tentunya.

Tetapi Belia yang pengen ataupun telah menjadi seorang manager band tetap patut untuk berbangga. Karena khusus untuk jabatan manager ini tidak diperlukan titel pendidikan ataupun background tertentu. Meminjam istilah Radiohead--Anyone Can Play Guitar--maka SSF pun mengatakan "Anyone Can Play Manager". Semua orang dari berbagai latar belakang dan usia bisa menjadi manager band! Sekolah yang dibutuhkannya hanyalah dari pengalaman itu sendiri. Skill memanage band pun dapat diolah seluas-luasnya melalu berbagai macam proses yang bisa Belia kembangkan sendiri.

Tugas utama dari manager band adalah mengelola band agar pertama-tama bisa survive kemudian berkembang terus agar bisa mencapai apa yang di cita-citakan oleh band tersebut.

Jadi seorang manager harus mampu mencari cara untuk mengarahkan para personel band agar dapat terus berada pada jalur yang telah di cita-citakan bersama. Berbagai cara ini dapat ditempuh melalui 2 jalur. Yang pertama adalah memanage kondisi internal band. Hal ini dilakukan dengan menyusun berbagai macam program internal yang bertujuan agar band dapat terus kompak, berkembang, serta kreatif. Seperti menyusun jadwal latihan rutin, briefing, bikin lagu, dengerin berbagai referensi sampai pada mempertahankan suasana band agar tetap enjoy. Perlu diingat bahwa meskipun pada awalnya suatu band mungkin dibentuk atas dasar hobi dan kesenangan masing-masing personel, tapi bisa saja kondisi band yang stagnan dapat membuat suasana band sudah tidak asik bagi beberapa personel. Maka seorang manajer yang andal harus bisa bertindak sebagai lem perekat agar semuanya bisa tetap bersatu.

Untuk fungsi eksternal, seorang manajer berfungsi sebagai Public Relation dan Promosi. Karena biar bagaimanapun dalam menghadapi lingkungan eksternal ini seorang manager bertindak sebagai bemper dan pembentuk image dari band.

Sebelum berhadapan dengan pihak-pihak luar sebaiknya seorang manager telah memiliki standardisasi manajemen sendiri. Lebih baik lagi jika sang manajer telah memikirkan mengenai image yang akan ditampilkan oleh band tersebut kepada publik. Sehingga semuanya bisa berjalan dalam satu kesatuan, antara lagu-lagu band, karakter serta attitude dan lifestyle personel dengan pola dan program promosi yang akan ditempuh. Kemudian manager tinggal mengkomunikasikan image tersebut kepada pihak-pihak luar tersebut. Kepada publik umum melalui flyer, internet, singel radio, mailing list dls. Kepada pihak media melalui sampel demo, press release, interview, dls. Kepada pihak panitia gigs melalui riders tentang fee, fasilitas serta penjalinan hubungan setelah gigs. Kepada fans dengan memaintain hubungan spesial serta kepada pihak sponsor (jika ada) melalui serangkaian program promosi dari band untuk dapat turut menunjang image sang sponsors.

Berkaitan dengan hubungan ke pihak label records, lebih khusus lagi seorang manager harus band tersebut lebih dahulu secara internal. Jika memang dirasa belum siap mental untuk merilis album mending tidak usah dipaksakan dulu. Jika memang band dirasa telah siap barulah sang manajer memilah berbagai lagu andalan yang akan dijadikan demo untuk label records. Sekaligus dengan berbagai packaging yang menggambarkan image sang band agar pihak label records dapat mengetahui lebih lanjut tentang band tersebut.

Jika sekiranya pihak label records tertarik, maka tugas selanjutnya adalah ikut memberikan nasihat serta petunjuk kepada para personel mengenai kontrak yang akan ditandatangan antara band dengan label records. Karena biasanya sangat jarang terjadi seorang manajer ikut menandatangani kontrak dengan label records.

Sekadar saran, pola promosi band akan lebih terasa nendang jika saja dilakukan dengan cara-cara yang ekstraordinary. Pikirkan saja mengenai hal-hal yang berbau sensasi yang memiliki nilai berita tertentu agar band Belia diliput oleh media ataupun mendapatkan berita gratis mouth to mouth. Lumayanlah buat ngehemat budget promosi.

Lebih lengkapnya lagi akan kita bahas bersama lagi di forum berikutnya.

See U in the next class..

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=467341

Saturday, September 4, 2010

CETAK BIRU INDUSTRI MUSIK NASIONAL Bagian 2



Oleh : Dr. Mari Elka Pangestu
Bookmark and Share
Pada edisi Rolling Stone bulan oktober silam kami telah memuat “Cetak Biru Industri Musik Nasional” bagian pertama yang ditulis oleh Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Mari Elka Pangestu. Berikut ini adalah kelanjutannya. Sementara, versi online dari “Cetak Biru Industri Kreatif Indonesia” bisa diunduh dari situs resmi Departemen Perdagangan RI, www.depdag.go.id.
PILAR TEKNOLOGI (TECHNOLOGY)

Salah satu teknologi yang sangat signifikan perannya dalam evolusi industri musik Indonesia adalah teknologi informasi dan komunikasi, baik dalam bentuk piranti lunak pendukung musik, jaringan komunikasi telepon dan internet sampai kepada piranti keras pendukung musik (komputer, piranti keras sound, alat musik digital, iPod, dan lain-lain).
Beberapa kondisi positif pilar teknologi antara lain:

Information Communication Technologies (ICT) membuka jalur distribusi baru melalui ringback tone (RBT)
ICT memampukan musik dijual melalui RBT. Potensi dari bisnis RBT dalam komunikasi seluler semakin besar. Misalnya dari satu grup musik saja, seperti Samsons, terdapat potensi pendapatan sebesar Rp 21 miliar yang berasal dari estimasi sekitar tiga juta kali download RBT lagu mereka seharga masing-masing Rp 7.000.

ICT membuka jalur distribusi baru melalui internet music
Selain RBT, jalur distribusi melalui internet music download atau mendengarkan lewat internet streaming semakin tumbuh. Kondisi ini juga dimampukan oleh ICT yang memadai.
ICT memperkaya kreasi musik
Dukungan ICT, khususnya dalam piranti lunak musik, sangat membantu para pencipta lagu dalam dan membantu label dalam proses mixing. Saat ini beberapa pencipta lagu sudah memiliki ketergantung-an ter-hadap komputer. Proses penciptaan dimatangkan melalui proses komputerisasi. Selain itu dukungan ICT piranti lunak pada alat musik semakin baik. Hampir semua suara instrumen alat musik semakin baik ditirukan oleh sebuah keyboard. Untuk memasukkan suara suatu instrumen musik, pencipta lagu tidak lagi harus menguasai instrumen musik tersebut. ICT memungkinkan hal tersebut terjadi.

Namun demikian, perkembangan teknologi ICT ini juga memberikan dampak-dampak negatif terhadap industri musik.
ICT memudahkan pembajakan
Perkembangan menggembirakan ICT ini juga merupakan kegembiraan bagi para pembajak, khususnya format MP3. Format ini merupakan salah satu yang paling ba-nyak dilakukan oleh para pembajak.

Selain itu, aktivitas kreasi pembajak juga semakin baik. Piranti lunak masih memampukan para pembajak membuat album-album kompilasi sendiri. Bahkan piranti lunak memampukan pembajak melakukan perbaikan-perbaikan kualitas suara.

PILAR SUMBER DAYA (RESOURCES)
Dalam aspek sumber daya tidak terdapat isu signifikan terkait permasalahan sumber daya alam dan lahan. Hal ini karena musik adalah industri yang tidak dipengaruhi oleh input dalam bentuk bahan baku. Hanya saja terdapat isu dalam:
Musik tradisional Indonesia yang banyak membutuhkan alat berbahan dasar dari alam yang semakin terbatas.
Pada saat yang sama, muncul juga bahaya klaim atas alat dan jenis musik tradisional Indonesia oleh negara lain.

PILAR INSTITUSI
Peranan pilar institusi, dalam hal ini secara spesifik adalah aspek hak atas kekayaan intelektual (HKI), adalah yang pa-ling signifikan bagi industri musik, seperti ditunjukkan oleh hangatnya diskusi dan masukan dari berbagai narasumber. Banyak pendapat yang bahkan menyatakan bahwa tanpa perubahan yang signifikan dalam hal perlindungan HKI, maka berbagai langkah dan dan strategi pengembangan untuk industri musik akan sia-sia atau minimal dampaknya. Dengan kata lain, langkah pembenahan dalam bidang ini harus menjadi prioritas utama.

Beberapa isu mendasar terkait ini adalah:

Ketimpangan di rantai distribusi industri musik akibat lemahnya regulasi
Tumbuhnya alternatif-alternatif jalur distribusi belum diikuti penataan yang tepat. Pola interaksi antara pencipta-label-jalur distribusi harus ditata dengan lebih spesifik. Seorang musisi melakukan protes kepada label, ketika musiknya digunakan di berbagai jalur distribusi tanpa seizin musisi tersebut. Itu sudah merupakan hal yang tak asing lagi. Penataan spesifik di rantai distribusi ini juga harus mempertimbangkan kemungkinan pembajakan.
Saat ini, konser lebih dinikmati oleh para musisi, karena memang sudah lebih dahulu pesimis dalam mengandalkan penjualan kepingan album. Carut marut rantai distribusi menjadi alasannya. Bahkan salah satu penyebab the rising of indie label juga adalah kondisi di rantai distribusi yang kurang kondusif.

Pembajakan merupakan ancaman terbesar dalam industri musik
Menurut data ASIRI 2007, penjualan musik ilegal atau bajakan mencapai 95,7% sementara musik legal hanya tinggal 4,3%. Hal ini menunjukkan gagalnya penegakan terhadap UU No.19/2002 tentang Hak Cipta.
Pembajakan ini dapat berakibat fatal bagi industri musik Indonesia, karena akan menurunkan semangat para pelaku di industri musik Indonesia untuk berkarya. Selain itu, hal ini juga berdampak bagi industri label rekaman yang akhirnya banyak mengubah haluan bisnis dengan mengambil alih manajemen artis untuk menggantikan pemasukan yang hilang akibat penjualan rekaman yang menurun drastis karena maraknya produk bajakan.

Peningkatan jumlah pembajakan dari tahun ke tahun
Ilustrasi tabel berikut yang menunjukkan betapa tajamnya peningkatan volume pembajakan dalam industri musik adalah bukti nyata bahwa pembajakan adalah isu mendasar bagi industri musik. Bahkan, dalam tahun 2007 saja diestimasikan bahwa jumlah unit bajakan yang terjual naik 15% dibandingkan tahun 2006.
Pertunjukan musik rusuh dan sering menelan korban jiwa
Semakin maraknya industri musik di Indonesia tentunya diikuti dengan maraknya pertunjukan/tur musik di seluruh pelosok tanah air. Ketidaksiapan aparatur keamanan di daerah-daerah serta pihak penyelenggara pertunjukan musik ini mengakibatkan sering terjadinya kerusuhan yang akhirnya menelan korban jiwa. Mulai dari konser band Ungu pada hari Selasa, 19 Desember 2006 di Kedung Wuni, Pekalongan, Jawa Tengah yang berakhir dengan tewasnya 10 penonton, diperkirakan karena terinjak-injak sesama penonton. Konser musik dari grup band Nidji dan Andra & The Backbone pada Minggu sore, 16 Maret 2008 di Tasikmalaya, Jawa Barat rusuh. Konser musik Duo Maia di Malang, Jawa Timur pada Sabtu, 5 April 2008 malam juga rusuh dan memakan korban (setidaknya 36 orang pingsan kare-na kehabisan nafas), dan masih ba-nyak pertunjukan musik lainnya yang rusuh dan menelan korban jiwa.
Hal ini tentunya perlu ditanggapi serius oleh pemerintah, dan diselesaikan secara bijaksana, bukan de-ngan tidak mengizinkan diadakannya pertunjukan musik di daerah yang mengalami musibah tersebut.

Indie masih sering dikonotasikan negatif oleh masyarakat
Dahulu memang identik dengan komunitas punk, yang kurang bisa diterima khususnya oleh kelompok tua. Identitas itu masih tersisa, dimana indie identik dengan brutalitas, bahkan premanisme. Kerusuhan konser indie di Balai Kota Bandung baru-baru ini dianggap menguatkan proposisi identitas brutal tersebut. Padahal proposisi tersebut kurang tepat. Memang komunitas indie harus menunjukan nilai-nilai positifnya lebih intensif lagi kepada masyarakat.

Saat ini industri musik telah menempuh sebuah fase perkembangan yang sesungguhnya sangat signifikan dan positif yaitu:

Sistem penghargaan industri musik Indonesia kondusif untuk kreativitas
Sistem royalti (tidak lagi ‘jual putus’) dalam industri musik membuat musisi berpacu untuk berkreasi, karena jerih payah mereka akan lebih dihargai secara berkelanjutan dalam sistem royalti ini.
Hal ini sayangnya akan menjadi sia-sia jika isu pembajakan tadi tidak diatasi.

PILAR LEMBAGA PEMBIAYAAN (FINANCIAL INTERMEDIARY)
Pembiayaan merupakan masalah klasik yang dijumpai hampir di setiap subsektor industri kreatif, termasuk dalam musik. Walau demikian, tidak ada isu spesifik dalam industri musik terkait pembiayaan yang memerlukan perhatian atau prioritas lebih dibandingkan dengan sektor industri kreatif lain, selain masih rendahnya apresiasi perusahaan besar terhadap musik independen yang sangat membutuhkan pendanaan.

RENCANA STRATEGIS PENGEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI MUSIK

I. Sasaran Dan Arah Pengembangan Industri Musik
Sasaran utama bagi industri musik Indonesia adalah untuk menciptakan industri musik yang:

1. Iklim kondusif melalui regulasi dan enforcement di rantai distribusi, termasuk upaya memberantas pembajakan
Meningkatnya alternatif mekanisme distribusi (penjualan) musik harus diikuti dengan penataan rantai distribusi dengan baik (tata niaga). Langkah ini juga sebagai persiapan menghadapi koneksi internet broadband yang sedang dipersiapkan.
Regulasi ini, yang program-program enforcement, meliputi pola interaksi mutual antara musisi-label-jalur distribusi (RBT, kaset, CD, internet, iklan, film/sinetron, dan lain-lain) dan meningkatkan perlindung-an bagi hak atas kekayaan intelektual dari pembajakan yang dapat menghambat tumbuhnya kreativitas.
Isu pembajakan merupakan masalah utama dalam industri musik ini. Bahkan ba-nyak pendapat mengatakan, tanpa penanggulangan terhadap masalah pembajakan maka rencana aksi apapun tidak akan bermakna. Hal ini membuat pemberantasan pembajakan menjadi prioritas utama.

Pemerintah harus lebih serius dalam menangani masalah pembajakan karena saat ini penjualan musik ilegal/bajakan telah mencapai 95,7% sementara musik legal hanya tinggal 4,3% (Data ASIRI 2007). Pemerintah harus memberikan sanksi hukum yang tegas kepada aparat pemerintah dan aparat polisi yang terbukti berkompromi dengan pembajak. Hal ini terbukti karena walaupun musik legal hanya tinggal 4,3%, tidak ada kasus pembajakan atau pelanggaran hak cipta karya musik Indonesia yang sampai ke Mahkamah Agung.

2. Fasilitasi lahir dan tumbuhnya pekerja kreatif di industri musik serta industri musik itu sendiri
Sumber daya insani dalam industri musik ini merupakan pondasi utama bagi perkembangan industri musik itu sendiri. Hanya dengan tumbuh pesatnya pekerja kreatif di industri musik ini, maka musik Indonesia akan tetap menarik, atraktif, meng-hibur dan unggul di mancanegara.
Sebagai payung utama dari semuanya adalah pentingnya perhatian pemerintah kepada para insan kreatif musik untuk menciptakan iklim yang kondusif dengan diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang dapat mendukung tumbuh-kembangnya industri musik ini. Banyak dari pelaku industri musik mengatakan bahwa perhatian tersebut tidak perlu harus selalu dalam bentuk dukungan finansial, namun misalkan keterlibatan instansi pemerintah menjadi pelindung atau patron dalam berbagai kegiatan atau acara musik. Selain itu, diberikannya kemudahan bagi pemusik Indonesia yang akan membawa nama bangsa dalam perjalanan untuk acara di luar negeri juga perlu mendapatkan dukungan pemerintah, seperti dalam pengurusan visa, bebas fiskal, dan lain-lain.
3. Penguatan pasar industri musik di dalam negeri
Penguatan pasar khususnya dilakukan melalui usaha-usaha nyata untuk membentuk masyarakat yang apresiatif terhadap musik Indonesia. Dengan semakin me-ningkatnya apresiasi masyarakat terhadap musik Indonesia, maka diharapkan: (1) dapat mengurangi pembelian musik Indonesia bajakan oleh pasar dalam negeri, di mana pembeli rekaman bajakan bukan hanya kelas bawah tapi juga kelas menengah dan kelas atas, (2) masyarakat dalam negeri mau mengeluarkan dana untuk membeli tiket pertunjukan musik Indonesia, tidak hanya rela mengeluarkan dana untuk membeli tiket pertunjukan musik luar negeri. Hal ini tentunya dapat mengurangi ketergantung-an pertunjukan musik Indonesia terhadap sponsor, dan (3) membuat stasiun-stasiun televisi lebih mendukung industri musik dan tidak menjadi tirani baru yang kerap menindas pelaku dalam industri musik dalam negeri.
4. Pemanfaatan keunikan musik tradisional di Indonesia untuk dapat dikemas menjadi musik yang tidak hanya diketahui di luar negeri, tetapi juga punya nilai komersial
Musik tradisional Indonesia dikenal di mancanegara, bahkan banyak dilestarikan di museum atau lembaga akademik seperti universitas, namun sayangnya belum ba-nyak dilihat aspek komersialnya. Menjadi tantangan untuk menjadikan musik tradi-sional Indonesia sesuatu yang bisa dijual, dinikmati, dan digemari di mancanegara. Mungkin salah satunya dengan memadukannya dengan musik popular (non-tradisional) seperti yang banyak dilakukan sekarang.

II. Peta Jalan Pengembangan Sektor Industri Musik (tabel di hlm. 56)
Arah dan sasaran utama kebijakan pe-ngembangan sektor industri musik di atas diterjemahkan dalam peta jalan/road map yang merupakan penetapan prioritas dan penjadwalan agenda sesuai sasaran yang hendak dicapai.
Peta jalan akan dijabarkan dalam bentuk strategi untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, yang dituliskan pada matriks pengembangan sektor musik pada tabel.

Cetak Biru Industri Musik Nasional (Bagian 1)

Cetak Biru Industri Musik Nasional (Bagian 1)
 
Oleh : Dr. Mari E. Pangestu ROLLING STONES INDONESIA
 
Bookmark and Share
Tanpa banyak diketahui bahkan oleh kalangan industri musik sendiri, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Perdagangan RI Dr. Mari E. Pangestu sejak setahun lalu telah merilis arahan sekaligus rujukan bagi pengembangan ekonomi kreatif di tanah air, salah satunya adalah pengembangan industri musik. Berikut ini, secara bersambung di rubrik Music Biz, akan diulas visi pemerintah dalam upaya menyelamatkan industri musik dari kehancuran serta demi masa depan industri musik yang lebih baik. - Rolling Stone -

Definisi Industri Musik
Industri kreatif subsektor musik adalah kegiatan kreatif yang berkaitan de-ngan kreasi/komposisi, pertunjukan musik, reproduksi, dan distribusi dari rekaman suara. Seiring dengan perkembangan industri musik ini yang tumbuh sedemikian pesatnya, maka Klasifikasi Baku Lapangan Indonesia 2005 (KBLI) perlu dikaji ulang, yaitu terkait dengan pemisahan lapangan usaha distribusi reproduksi media rekaman, manajemen representasi-promosi (agensi) musik, jasa komposer, jasa pencipta lagu dan jasa penyanyi menjadi suatu kelompok lapangan usaha sendiri.

Rantai Nilai Subsektor Industri Musik
Setiap proses pada aktivitas utama di industri musik akan melibatkan beberapa industri pendukung. Rantai nilai dari industri musik dan industri yang terkait dalam setiap rantai nilai tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Label major masih merupakan pemegang peran penting dalam industri musik Indonesia. Namun indie label juga semakin diperhitungkan.

Dinamika industri musik Indonesia merupakan suatu hal yang menarik. Evolusi senantiasa terjadi di setiap rantai nilai industri. Evolusi di rantai kreasi membuat kita semakin sulit menentukan suatu cutting edge yang jelas untuk membedakan berbagai jenis genre atau aliran musik. Berbagai aliran musik semakin berasimilasi. Musik rock berasimilasi dengan orkestra, dangdut, atau dangdut berwarna rock, orkestra mengusung rock, dan berbagai format musik lainnya. Seluruh aliran musik saling memberi pengaruh. Tidak ketinggalan, musik beraliran etnik juga semakin menancapkan pengaruhnya, memperkaya blantika musik Indonesia.

Output di rantai kreasi adalah lagu. Pihak-pihak yang mendukung rantai kreasi ini tentunya segala sesuatu yang berhubungan dengan penciptaan suatu lagu. Mereka adalah pencipta lirik dan lagu, pengubah (arranger), pemusik (instrumen dan vokal), industri alat musik, industri piranti lunak musik, sampai kepada studio-studio musik.

Output rantai produksi adalah lagu yang siap didistribusikan. Aktivitas di rantai ini umumnya adalah proses mixing, recording dan reproduction. Format jadi sebuah lagu meliputi format kaset, CD, video klip (VCD/DVD), dan format digital. Dukungan-dukungan yang dibutuhkan di rantai produksi berasal dari: industri reproduksi, industri kaset dan CD/VCD/DVD kosong, industri piranti lunak musik, sampai kepada dukungan manajemen artis.

Evolusi juga terjadi di rantai produksi. Format-format musik berevolusi, dimulai dari phonograph (piringan hitam), kaset dan video, CD/VCD/DVD sampai kepada format digital yang semakin kuat. Perkembangan teknologi memampukan evolusi-evolusi tersebut ke arah yang lebih baik.

Di rantai komersialiasi, lagu yang sudah siap untuk didistribusikan tersebut dipromosikan melalui media cetak (penerbitan dan percetakan), dan media elektronik (televisi, radio, internet). Festival dan kompetisi juga bermanfaat untuk mempromosikan, selain lagu, juga para pemusiknya.

Tour concert merupakan mekanisme promosi yang paling populer dilakukan. Saat ini konser-konser bukan lagi ajang untuk mempromosikan album. Konser sudah berevolusi menjadi sumber pendapatan utama bagi para pemusik. Karena berbagai penyebab, termasuk pembajakan, tidak mudah untuk mencapai penjualan album rekam-an yang cukup baik. Tidak banyak album yang mampu mencapai rekor penjualan platinum. Akibatnya, konser merupakan alternatif yang cukup menarik sebagai sumber pendapatan.

Distribusi merupakan rantai yang dirasakan masih carut-marut di industri musik Indonesia. Banyaknya pilihan-pilihan jalur distribusi memang membutuhkan penataan yang lebih kompleks. Evolusi industri musik paling dirasakan dampaknya pada rantai distribusi. Perkembangan teknologi informasi memampukan industri untuk melakukan aktivitas distribusi dalam berbagai bentuk. Toko musik untuk distribusi format fisik (kaset dan CD). Sementara format digital bisa didistribusikan melalui internet music dan ringback tone di telepon genggam. Ringback tone saat ini semakin tumbuh pesat di industri musik Indonesia.
Saat ini, terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi struktur industri musik Indonesia. Pertama adalah the rising of indie label dan kedua, teknologi ICT yang semakin pesat.

Indie label (indie umumnya diartikan do it yourself) semakin tumbuh sebagai subtitusi major label. Melalui mekanisme indie label, ego seorang musisi bisa lebih terpuaskan, tidak banyak aturan-aturan yang harus dipatuhinya, proses bisnis dan administrasi yang tidak terlalu rumit, tidak dipusingkan oleh sistem royalti dan pembajakan, dan lain-lain. Konser dan menjual album ketika konser merupakan mekanisme umum yang dilakukan. Namun demikian, indie label dan major label tidak selalu bersubtitusi. Dalam berbagai kondisi, indie label juga dimanfaatkan sebagai tangga menuju major label.

Pesatnya kemajuan teknologi ICT merupakan determinan terkuat dalam evolusi industri musik Indonesia. Sejak Bill Gates berhasil menciptakan sistem operasi Windows yang memampukan konsumen menikmati musik di komputer, Linus Torvalds menciptakan system operasi Linux yang memfasilitasi jutaan server situs web baru penyedia content digital. Leonardo Chiariglione dari Moving Picture Entertainment Group menciptakan salah satu format digital paling populer yaitu MP3 untuk musik dan MPEG untuk video, dan Steve Jobs menciptakan iPod sebagai MP3 player pertama, maka evolusi industri musik dunia dimulai, dan telah sampai di Indonesia. Berbagai portal situs web sampai telepon genggam menangkap peluang tersebut dan memberikan warna baru dalam blantika musik dunia dan Indonesia.

Namun demikian, dampak negatif selalu datang bersamaan dengan dampak-dampak positif. Memang pembajakan telah hadir sebelum format musik digital muncul, yaitu pada pembajakan kaset dan video kaset. Namun format digital membuat pembajakan semakin merajalela di Indonesia. Format musik digital memungkinkan para pembajak beroperasi dengan lebih baik, lebih murah, bahkan lebih kreatif. Ari Lasso pernah berkata: "Gue punya 16 versi album The Best of Ari Lasso. Waktu gue tur di 30 kota tempo hari, gue selalu beli versi yang berbeda. Judulnya macam-macam. Ari Lasso & Friends, The Best of Ari Lasso, Balada Ari Lasso, Lagu Cinta Ari Lasso, Cinta dan Kehidupan Ari Lasso, Keseimbangan Cinta Ari Lasso, Rahasia Ari Lasso sampai Misteri Ari Lasso. Semuanya bajakan!"

Maka tak heran dalam keputusasaan menghadapi pembajakan, seorang Dik Doank melantunkan puisi diiringi gitar pada acara AMI Awards 2006: "Kita cukup gembira, karena sekarang banyak band muda yang bermunculan/Band-band tersebut muncul dengan kualitas yang bagus/dengan lagu-lagu yang asyik/Tapi jangan senang dulu kalau lagu kamu masuk di posisi tangga lagu beberapa radio/Tapi jangan senang dulu kalau lagu-lagu kamu memenangkan beberapa penghargaan/Karena album kamu akan dibajak/Dan konyolnya album bajakan itu dijual bebas di depan kantor polisi!/Di mana para aparat yang harusnya melindungi kita sebagai seniman dari pembajak?/ Di mana?/Saat kita menyanyikan "Happy Birthday To You" pencipta lagu ini akan menikmati royalti di hari tuanya/Tapi itu di Amerikaaa/Jangan mengkhayal dulu teman-temanku/Hari ini album kita hanya terjual beberapa kopi/Karena besoknya mereka sudah membajak album kita/Dan kita hanya termenung di hari tua, temanku."
Hebatnya lagi, evolusi industri musik Indonesia saat ini ditengarai belum pada puncaknya. Diperkirakan evolusi itu akan klimaks mengubah wajah struktur industri musik Indonesia, ketika Palapa Ring sebagai backbone koneksi broadband untuk content digital, rampung dengan sempurna, menghubungkan seluruh wilayah Nusantara.


Lapangan Usaha dan Industri yang terkait dengan Industri Musik
Musik sebagai sebuah hiburan (entertainment) memiliki kaitan erat dengan berbagai lapangan usaha dan industri yang berada pada sektor hiburan juga. Termasuk dalam hal ini adalah sektor industri kreatif lain yang menjadi media memperdengarkan atau mempertontonkan musik, yaitu televisi dan radio. Selain itu, seni pertunjukan merupakan sektor lain dalam industri kreatif yang terkait erat dengan musik, di mana banyak hasil karya musik digunakan dalam seni pertunjukan. Dalam diskusi dengan beberapa narasumber, banyak juga yang berpendapat bahwa musik sebenarnya adalah bagian dari seni pertunjukan.
Dalam kaitannya dengan industri kreatif lain, industri musik juga terkait erat dengan industri lifestyle, yang di dalamnya melibatkan industri penerbitan dan percetakan dengan media cetak yang memuat atau mengulas tentang musik. Selain itu, industri lifestyle erat kaitannya dengan industri media elektronik (termasuk televisi dan radio di atas), industri makanan dan minuman (terutama restoran, café, bar dan tempat lainnya dimana musik dipertontokan atau diperdengarkan). Industri periklanan juga terkait sangat erat, terutama dengan banyaknya penggunaan musik dalam berbagai jingle iklan.

JENIS PEKERJAAN DI INDUSTRI MUSIK
Jenis pekerjaan inti dalam industri musik ini dapat dikategorikan sebagai musisi atau artis musik. Musisi dapat didefinisikan sebagai memainkan atau menulis musik. Musisi ini dapat dikategorikan berdasarkan perannya dalam menciptakan ataupun dalam pertunjukan musik, yaitu:
1. Instrumentalist, yang memainkan alat musik.
2. Singer/vocalist, menggunakan suaranya sebagai instrumen.
3. Composers, adalah individu yang menciptakan musik, pada umumnya dalam bentuk notasi-notasi yang kemudian akan diinterpretasikan dan dipertunjukkan oleh musisi.
4. Arrangers, adalah individu yang membuat aransemen musik. Aransemen dapat didefinisikan sebagai penulisan kembali dari musik yang sudah ada dengan penambahan material tersebut. American Federation of Musicians mendefinisikan penggubahan (arranging) musik sebagai sebuah seni dari mempersiapkan dan mengadaptasi komposisi musik yang sudah ada untuk menyajikannya secara berbeda dari bentuk aslinya. Penggubahan musik meliputi reharmonization, paraphrasing, dan atau mengembangkan komposisi musik itu sendiri, sehingga dapat menyajikan melodi, harmoni dan struktur ritme baru. (Corozine 2002, p.3) penggubahan (arranging) berbeda dengan orkestrasi (orchestration), di mana orkestrasi hanyalah mengadaptasi musik untuk orkestra atau ensemble musik, arranging "meliputi penambahan teknik komposisi, seperti tambahan pada bagian introduksi, transisi, modulasi dan akhir dari sebuah musik." Penggubahan merupakan seni untuk membuat variasi melodi pada musik yang sudah ada.
5. Songwriters, adalah profesi yang menulis lirik lagu atau membuat komposisi musik dan melodi suatu lagu, atau melakukan keduanya; lirik dan komposisi.
6. Improviser adalah profesi yang menciptakan awareness para pemusik dalam aktivitas musiknya, agar memiliki pemahaman mendalam terhadap suatu momen, bahkan seolah-olah sedang berada dalam momen tersebut, sehingga mampu menghasilkan kualitas musik yang sempurna.
7. Orchestrator, adalah profesi yang memimpin suatu ensemble insrumental. Profesi ini dibutuhkan ketika suatu musik dimainkan dengan berbagai jenis instrumen musik. Membuat setiap nada dan suara yang dihasilkan setiap instrumen saling mengisi dan sinergi menuju kesempurnaan musik, merupakan tanggung jawab seorang orchestrator.
8. Conductor, adalah profesi yang memimpin suatu music ensemble, melalui gerakan-gerakan isyarat tubuh, terutama gerakan tangan. Seringkali seorang conductor juga sekaligus berfungsi sebagai orchestrator, memimpin penyanyi dan pemain instrumen musik sekaligus.
9. Selain profesi-profesi di atas, terdapat beberapa profesi pendukung industri musik ini, seperti: sound engineer, juru lampu, juru rias, penata busana pentas, penata musik, dan manajer artis.

ANALISIS KONDISI INDUSTRI MUSIK
A. Pondasi Sumber Daya Insani (People)
Kondisi sumber daya insani Indonesia dalam industri musik memiliki potensi kekuat-an yang dapat menjadi sumber keunggulan bersaing. Terutama karena tingkat kreativitas yang tinggi yang dimiliki oleh insan seni musik Indonesia.
Beberapa situasi penting tentang sumber daya insani Indonesia di bidang seni musik adalah:
a. Insan musik Indonesia yang kreatif
Kreativitas insan musik Indonesia yang tinggi, terbukti dengan tingkat produktivitas hasil karyanya. Di tengah permasalahan-permasalahan yang muncul di industri musik, kreasi musik tak pernah berhenti, bahkan karya kreasi musik ini sudah sampai ke dunia internasional.
b. Jumlah insan musik kreatif bertumbuh pesat
Penyanyi dan band-band baru semakin banyak terbentuk, sementara penyanyi band-band senior masih tetap eksis. Jumlah insan kreatif musik tak pernah berhenti bertambah di Indonesia.
c. Potensi calon insan kreatif musik besar
Salah satu indikasi yang menguatkan kondisi ini adalah banyaknya ajang-ajang kompetisi yang semakin marak saat ini. Sebut saja di antaranya: Indonesian Idol, AFI, Kontes Dangdut, Rock Festival, Dream Band, Kompetisi Ringback Tone Indosat dan masih banyak ajang lain yang berpotensi melahirkan insan-insan musik baru yang berkelas.
d. Keunggulan dalam festival mancanegara
Potensi yang besar tersebut bisa terberdayakan lewat besarnya peluang untuk menunjukkan kiprah hingga ke mancanegara, di antaranya lewat festival-festival di mana pemusik Indonesia menunjukkan keunggulannya.
e. Musisi Indonesia semakin dikenal di mancanegara
Salah satu indikasi bahwa musisi Indonesia semakin dikenal di mancanegara, selain kemenangan-kemenangan di ajang kompetisi internasional, adalah Java Jazz Festival yang dihelat rutin tahunan ini selalu didatangi oleh pemusik-pemusik jazz terdepan di dunia, berkolaborasi dengan musisi-musisi lokal. Aktivitas ini membuat pemusik Indonesia makin dikenal dunia.
f. Sekolah musik dan vokal usia muda dan anak-anak semakin banyak
Meskipun masih terkonsentrasi di kota-kota besar, namun sekolah musik untuk usia muda dan anak-anak, bahkan dewasa makin bertambah jumlahnya.
g. Profesi pemusik sudah menjadi profesi yang sangat diminati
Bercita-cita menjadi pemusik bagi anak dan remaja Indonesia di era tahun 1990-an dan sebelumnya umumnya mendapat tantangan dari orangtua. Prospek pendapatannya kurang meyakinkan. Namun sekarang paradigma tersebut sudah berubah. Orangtua bahkan menganjurkan anak-anaknya mengikuti kursus musik, mengikuti kompetisi-kompetisi musik, sampai pada puncaknya adalah perhelatan kompetisi anak dan ibunya di Supermama. Profesi musik terbukti semakin menjanjikan.
Tentunya terdapat beberapa area di mana pengembangan agar output yang optimal bisa dihasilkan:
a. Pendidikan musik perlu ditambah
Pendidikan bagi para pemusik cenderung kurang. Dalam hal ini, banyak pemusik lahir dari proses otodidak.
b. Perlunya apresiator musik
Selain itu, kurangnya pendidikan musik bukan hanya untuk menghasilkan produsen musik (musisi, arranger, dan lain-lain) melainkan juga pendidikan bagi penikmat (konsumen) musik sehingga masyarakat Indonesia dapat menjadi apresiator yang baik.
c. Profesi guru musik kurang dihargai
Pandangan sebelah mata dari pemerintah akan pentingnya mata pelajaran musik, diketahui dari tidak adanya guru-guru musik di SD hingga SMA yang mempunyai ijazah musik, serta kecilnya insentif terhadap guru musik yang berbeda dengan guru mata pelajaran lainnya.
d. Ketidaksesuaian pendidikan formal musik
Di sisi lain, banyak sarjana di bidang musik tidak mempunyai tempat untuk berkreasi yang tepat. Secara umum bisa kita katakan terjadi ketidaksesuaian dalam pendidikan musik dengan lapangan yang tersedia di masyarakat.
e. Musik tradisional kurang diperhatikan
Selain itu perhatian pemerintah terhadap musik tradisional dirasa kurang, karena selama ini musik tradisional hanya dijadikan pelengkap pariwisata saja.

B. Pilar Industri
Kondisi sumber daya insani di atas yang sesungguhnya sangat kondusif bagi tumbuh suburnya industri musik Indonesia memiliki berbagai hambatan dari berbagai aspek di bidang industri, terutama dalam hal kebijakan pemerintah, terutama dalam isu perpajakan.
Pajak yang tinggi ditambah cukai membuat industri ini menurun
PPH yang terlalu tinggi untuk meng-adakan suatu pertunjukan atau konser musik.
Pengenaan pajak internasional yang tinggi pada lirik lagu yang mengenakan bahasa asing (walaupun oleh pemusik Indonesia).
Selain itu, secara umum perhatian pemerintah masih kurang terhadap musik dalam bentuk:
Penataan jalur distribusi industri musik lemah
Kurangnya perhatian dari pemerintah pada industri ini, baik dari segi apresiasi maupun kemudahan-kemudahan untuk go international, bahkan
Perizinan untuk konser atau ikut kompetisi ke luar negeri pun sangat sulit
Kurangnya pemberitaan atau promosi dari dalam negeri, walaupun banyak musisi Indonesia yang memenangi kompetisi di luar negeri.
Tidak adanya prasarana (infrastruktur) atau gedung konser tersendiri sedangkan penggunaan infrastruktur milik pemerintah memerlukan biaya yang sangat tinggi.

Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa pilar industri kita masih memiliki kekuatan dan daya saing yang kuat yang ditunjukkan dengan
a. Musik Indonesia tuan rumah di negeri sendiri
Dari sisi permintaan, pasar musik dalam negeri juga sangat apresiatif terhadap musik Indonesia, dengan 80% dari pangsa pasar musik adalah musik Indonesia.
b. Musik etnik semakin tumbuh dan diterima di pasar domestik
Musik etnik baik yang dikemas dalam konsep kontemporer atau memperkaya warna-warna musik yang sudah ada, semakin tumbuh dan diterima pasar domestik. Insan-insan kreatif seperti Balawan, Viky Sianipar dan lain-lain merupakan sedikit di antaranya yang menjadi motor-motor penggerak musik etnis kontemporer.
c. Musik etnis Indonesia disukai di mancanegara
Yang juga menarik adalah kemampuan musisi Indonesia memasukkan unsur musik tradisional/etnis sehingga membuatnya disukai bukan hanya di pasar domestik tapi juga internasional.
d. Pasar label indie semakin tumbuh
Mekanisme indie label yang semakin digemari semakin dapat diterima pasar. Indikasinya adalah jumlah penonton yang selalu memadati konser-konser band indie. Geliat indie label semakin diterima pasar terlihat di beberapa kota besar terutama Bandung.
e. Jalur distribusi musik semakin bervariasi
Jalur-jalur baru industri musik semakin berkembang. Musisi dan label tidak lagi hanya mengandalkan dari pendapat-an kepingan kaset dan CD yang terjual. Ringback tone, jingle iklan, internet music download sampai kepada pemakaian lagu yang semakin digemari sebagai pembuka, latar atau theme song suatu film dan sinetron. Sebagai contoh, potensi peluang yang luar biasa dari bisnis RBT dan model bisnis lainnya bermodal internet dan ponsel akan terlihat, jika dilakukan benchmark di Asia, di mana Indonesia menduduki peringkat keempat setelah Jepang, Korea Selatan dan Cina dalam pangsa pasar RBT.
f. Kepercayaan diri dan kesiapan bersaing dengan musik luar negeri
Masuknya musik luar negeri tidak dipandang sebagai ancaman bagi industri musik Indonesia, tetapi merupakan peluang dikarenakan banyak yang dapat dipelajari dari pemusik luar negeri.
g. Ekspansi musik Indonesia ke mancanegara makin baik, terutama Malaysia.
Pada saat yang sama, musik Indonesia dikenal di luar negeri dan bahkan mendominasi di Malaysia.

[Bersambung]
Era Baru Musik Digital
 
Setelah ringback tone, giliran bisnis full track download menjadi harapan baru industri musik
 
Oleh : Wendi Putranto  ROLLING STONES INDONESIA
Foto : Ilustrasi oleh Bertono Adi
Bookmark and Share
"Sampai sekarang belum ada yang bisa menggantikan ringback tone. Penggantinya apa setelah itu? Kami juga bingung. Kalau nggak ada penggantinya, label-label rekaman benar-benar bisa tutup,” ujar Jan Djuhana dengan ekspresi datar. Kedua tangannya mengepal menjadi satu di atas meja, seakan-akan ia seperti tengah berdoa. Semua orang yang hadir dalam ruangan dingin tersebut hanya bisa memperhatikan tanpa sedikit pun berani membantahnya.

Komentar pesimis tersebut diucapkan dua tahun yang lalu di ruang rapat kantor Rolling Stone oleh Senior A&R Director Sony BMG Music Indonesia tersebut. Saat itu veteran pelaku bisnis rekaman Indonesia nan legendaris yang akrab disapa Pak Jan itu tengah menghadiri diskusi terbatas bagi edisi tahunan majalah ini yang membahas perkembangan terkini industri musik tanah air.
Berkat sentuhan emas tangannyalah Pak Jan sempat mempelopori tren penjualan album fisik (kaset dan CD) hingga jutaan keping di Indonesia pada akhir dekade ‘90-an melalui artis-artis seperti Sheila On 7 dan Padi. Kini, lebih dari sebelas tahun lalu, apa yang pernah dicapai industri ini menurut Pak Jan telah menjadi sebuah “impossible dream.”   

Wajar jika seorang Jan Djuhana sepesimis itu, prestasinya mencetak penjualan unit kaset dan CD hingga berjuta-juta keping kini dengan ajaibnya tergantikan dan sangat bergantung dari bisnis nada tunggu alias ringback tone. Inilah satu-satunya jenis musik digital yang dapat menjadi tambang uang di negeri ini. Bayangkan, sepanjang 2009 lalu keuntungan yang berhasil diraih industri telekomunikasi dan industri musik dari ringback tone terbilang fantastis, diperkirakan lebih dari Rp 1,5 triliun!

Masa keemasan penjualan album fisik di Indonesia secara resmi hampir ditutup. Awal dekade baru ini merupakan salah satu yang paling buruk dalam sejarah industri rekaman di tanah air. Tercatat hanya sekitar 10 juta keping album legal yang terjual di Indonesia pada tahun 2008, menurut data yang dikeluarkan ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia). Padahal tahun sebelumnya masih mencatat penjualan 19,4 juta keping dan 2006 sebesar 23,7 juta keping. Penjualan tahun lalu yang belum dirilis ASIRI hingga kini diperkirakan juga mengalami penurunan sekitar 10%-15%.

Sebaliknya, angka pembajakan musik fisik di Indonesia justru meningkat gila-gilaan. Jika di tahun 1996 ASIRI mencatat 20 juta keping album bajakan beredar, maka dua belas tahun kemudian atau di tahun 2008 jumlahnya membengkak fantastis hingga 550 juta keping! Rasio peredaran album musik bajakan dan legal di tahun 2007 bahkan telah mencapai 96% : 4%, angka ini disinyalir akan terus bertambah di tahun ini. 

Tiga tahun lalu atau Maret 2007 ketika Rolling Stone menerbitkan feature berjudul “Industri Musik Kiamat?” hampir sebagian besar pelaku industri tak mempercayainya, melontarkan kritikan sinis bahkan mencibir analisis yang dianggap terlalu berlebihan. Kini sepertinya semua orang sepakat bahwa industri musik fisik tengah berada di ambang ajal akibat dihajar pembajakan dan perkembangan teknologi informasi.

Ratusan toko kaset dan CD di Indonesia telah tutup selama dua tahun terakhir ini, salah satunya bahkan sebuah toko yang telah puluhan tahun beroperasi dan menjadi ikon Bandung sebagai kota barometer musik: Aquarius yang terletak di Jalan Dago. Sejak Desember 2009, Aquarius Dago resmi going out of business.

Menurut keterangan Meidi Ferialdi, Marketing Manager Aquarius Musikindo, semakin tingginya harga sewa tempat di sana membuat pihaknya tidak bisa berkompromi lagi dengan biaya yang harus dikeluarkan se-tiap tahunnya. Ia menjanjikan toko Aquarius akan dibuka kembali di Bandung di tempat yang berbeda, entah kapan tepatnya.

Label-label rekaman yang tergabung dalam ASIRI pun mengalami nasib yang sama: Tutup! Menurut Marulam J. Hutahuruk, Ge-neral Manager ASIRI, seperti dikutip dari Kompas.com, dari 240 anggota ASIRI kini hanya tersisa 76 perusahaan dan dari jumlah itu yang masih aktif berbisnis hanya tinggal 12-15 perusahaan rekaman besar.

Krisis ternyata tak hanya menghantam label-label rekaman besar. Indie label terkemuka Aksara Records yang telah menjadi salah satu tonggak pergerakan musik independen di tanah air dan menjadi rumah bagi band-band seperti Efek Rumah Kaca, Sore, Goodnight Electric, White Shoes & The Couples Company terpaksa ditutup sejak pertengahan Desember silam.

Owner sudah menyatakan tidak akan melanjutkan lagi terjun di bisnis ini,” ujar Aldo Sianturi, Managing Director Aksara Records. Selain mundurnya pemodal, mismanajemen dan krisis industri rekaman berperan besar terhadap penutupan indie label bergengsi tersebut. 
Yang lebih parahnya lagi, krisis ini bahkan telah membunuh pula genre musik! Dangdut yang selama ini diklaim sebagai musik asli Indonesia akhirnya harus menyerah di tangan industri musik yang telah melahirkan dan membesarkannya sejak dekade akhir ‘60-an.
Sepanjang 2009 hampir tidak ada rilisan album dangdut, beberapa radio dangdut terkemuka berubah format menjadi pop, bahkan stasiun-stasiun televisi swasta seperti menarik dukungannya bagi genre musik ini. Sepinya panggung dangdut akhirnya membuat ramai pula artis dangdut hijrah ke musik pop, salah satunya adalah ikon dangdut ngebor, Inul Daratista.  

“Aku nggak lari dari dangdut, aku hanya memanfaatkan kesempatan. Karena pop beda dengan dangdut. Walau begitu aku tetap cinta ngebor,” ujar  Inul Daratista, seperti dikutip dari Detik.com belum lama ini.

Kondisi ini tampak semakin diperparah oleh lepas tangannya pemerintah dalam upaya penyelamatan industri musik dari ancaman kiamat. Padahal ketika mencanangkan 2009 sebagai Tahun Industri Kreatif, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti dikutip dari Pikiran Rakyat, sempat berkata bahwa industri musik merupakan industri ekonomi kreatif yang mencatat angka pertumbuhan tercepat di antara jenis industri lainnya, sekitar 18% - 22%.

Toh, fakta bahagia ini tak lantas membuat pemerintah dan aparat penegak hukum bergerak cepat memberantas penyakit kronis industri ini: pembajakan! Terbukti, memiliki presiden yang juga pencipta lagu dan telah merilis tiga album penuh di dua periode masa jabatannya bahkan tak berguna sama sekali untuk menuntaskan masalah pelik ini.    

Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu pada pertengahan tahun lalu kepada Rolling Stone di Jakarta Convention Center dengan jujur mengakui pihaknya memang agak kendor dalam melakukan kontrol dan jarang melakukan razia produk bajakan yang kini telah merambah ke mal serta pusat-pusat perbelanjaan terkemuka di tanah air.

Namun semua kabar buruk dan raut bopeng industri musik ini seperti mendadak sirna pada hari Senin, 18 Januari 2010 silam di Blowfish Kitchen & Bar, Jakarta. Optimisme mulai terpancar kembali. Sejak pagi-pagi sekali seluruh jajaran top eksekutif industri rekaman dan industri musik negara ini telah berkumpul di salah satu sentra dugem paling digandrungi belakangan ini di ibukota.

Wajah-wajah cerah dengan senyum tersungging di bibir saling bertegur sapa serta bercengkerama dengan antusiasnya. Di antara wajah-wajah optimis penguasa industri rekaman nasional tersebut tampak Toto Widjojo (Managing Director Sony Music Entertainment Indonesia), Jusac Sutiono (Managing Director Warner Music Indonesia), Arnel Affandi (Managing Director EMI Music Indonesia), Gumi-lang Ramadhan (Direktur Musica Studios), Handi Santoso (Komisaris Trinity Optima Production), Rahayu Kertawiguna (Managing Director Nagaswara) dan Florine Lismanax (Direktur Operasional E-Motion Entertainment).

Tak ketinggalan pula para artis papan atas seperti Piyu Padi, Maia Estianty, Dewi Sandra, Ridho Irama, Geisha hingga Gruvi datang berbaur di sana.  Ratusan wartawan dari berbagai media massa terkemuka juga berkumpul hingga membuat tempat dugem yang terbilang tidak terlalu besar itu menjadi penuh sesak dan gaduh hingar bingar.

Semuanya datang untuk menghadiri konferensi pers peluncuran sebuah layanan musik digital baru dari Telkomsel. Sebelum dimulai, duo akustik yang belakangan sangat digandrungi, Endah N’ Rhesa, menghibur para hadirin dengan nomor-nomor milik mereka sendiri maupun cover version. Cukup lama mereka bernyanyi di atas panggung dan sepertinya panitia tengah mengulur waktu.

Ternyata benar, sang empunya hajat memang belum juga datang. Namanya Sarwoto Atmosutarno, jabatannya adalah Direktur Utama Telkomsel, operator ponsel terbesar dengan 83 juta pelanggan di seluruh Indonesia. Perusahaan yang dipimpinnya sejak awal 2009 pada tahun lalu berhasil meraih keuntungan lebih dari Rp 550 miliar hanya dari ringback tone saja!

Ini artinya Telkomsel menguasai 55% dari seluruh pendapatan bersih yang diraih 11 operator ponsel penyedia layanan RBT. Ini adalah pencapaian terbesar yang pernah dicetak Telkomsel sejak layanan RBT ini diperkenalkan oleh Indosat untuk pertama kalinya pada 17 Agustus 2004, hanya berselang dua hari lebih cepat dari Telkomsel yang meluncurkannya pada 19 Agustus 2004. 

Walau ironis namun terbukti bahwa pihak yang menjadi juru selamat industri musik dari ambang kehancuran justru bukan pemerintah melainkan operator telekomunikasi seluler, lebih spesifiknya lagi bisnis ringback tone! Itulah alasan kuat mengapa sejak pagi-pagi sekali seluruh pelaku industri musik negeri ini kemudian ramai berkumpul menunggu kedatangan seorang Sarwoto Atmosutarno meluncurkan harapan baru bagi keberlangsungan industri ini, sebuah layanan single full track download bernama LangitMusik!

Suasana gaduh perlahan menjadi hening ketika acara konferensi pers akan segera dimulai. Di hari Senin yang biasanya sangat sibuk, Sarwoto hadir mengenakan kemeja santai putih dan topi fedora putih dengan celana panjang hitam sembari memegang tongkat. Gaya busananya pagi itu sekilas mengingatkan kepada bos mafia dalam film-film Hollywood. Secara panjang lebar de-ngan santai dan berwibawa ia menjelaskan alasan terjunnya Telkomsel ke bisnis mobile full track download bernama LangitMusik.

LangitMusik sementara ini memiliki katalog lebih dari 10.000 lagu multi-genre yang semuanya berasal dari Indonesia dan hanya bisa diunduh oleh pelanggan kartu Telkomsel. Di penghujung tahun ini mereka menargetkan terjadi pertambahan hingga 100.000 lagu dalam katalog musik hasil kerja sama dengan 48 label rekaman dan content provider yang ada di seluruh Indonesia. Artis-artis yang menjual musiknya di sini beragam, mulai dari generasi bintang masa lalu hingga bintang zaman sekarang. Dari Nidji, GIGI, Kerispatih, Vierra, Peterpan, Ebiet G. Ade, Rafika Duri, Iwan Fals hingga Chrisye. 

Pelanggan Telkomsel yang ingin mengunduh sebuah lagu akan dikenakan biaya Rp 5.000 (belum termasuk pajak 10%) yang otomatis dipotong dari pulsa. Atau jika ingin- menyewa selama 30 hari, mereka akan dikenakan biaya Rp 3.000/lagu. Metode pembayaran layanan ini dapat dilakukan pula dengan layanan mobile wallet T-Cash. Setelah proses pengunduhan berhasil, pengguna nanti akan menerima sebuah file audio rata-rata berukuran 4-5 MB dengan bit rate 128 kbit/s.

“Hampir setiap minggu saya menandatangani pembayaran royalti miliaran rupiah dari penjualan ringback tone, ini jelas bukan industri kecil-kecilan lagi,” jelas Sarwoto santai.
Demi mainan baru ini, dalam konferensi persnya Sarwoto menargetkan pendapatan Telkomsel tahun 2010 dari bisnis musik digital yang baru diluncurkan ini sebesar Rp 1 triliun!

Orang yang paling bertanggung jawab demi tercapainya target raksasa Sarwoto tersebut adalah Dr. Krishnawan Pribadi, VP Digital Music & Content Management Telkomsel. Ketika ditemui Rolling Stone di ruang kerjanya yang sejuk dan luas di Gedung Wisma Mulia lantai 3, Krishnawan yang akrab disapa Pak Krish ini didampingi oleh tangan kanannya, Endra Diputra, digital music specialist Telkomsel yang jebolan magister E-business, Universitas Gajah Mada. 
In This Issue
 
Jumat, 21 Mei 2010 08:42 WIB 
    
The Phenomenal : Pee Wee Gaskins
 
Rolling Stone Editors Choice Awards 2010
 
Oleh : Wendi Putranto ROLLING STONES INDONESIA
 
Foto : Glenn Prasetya
 
Bookmark and Share
Band pop punk fenomenal yang sukses tanpa dukungan major label dan sangat digandrungi sekaligus dibenci

Setahun belakangan ini merupakan tahun gemilang sekaligus tahun paling menyerempet bahaya bagi kuintet pop punk ibukota, Pee Wee Gaskins. Jika ada anak muda jaman sekarang yang tak tahu Pee Wee Gaskins, atau tidak pernah mendengar namanya, dapat dipastikan mereka adalah kuper.

Hebatnya, sebagai band yang sama sekali tidak berada di bawah major label, prestasi yang me-reka torehkan terbilang fenomenal. Kepo-puleran mereka capai sendiri dengan bekerja keras dan berkat kegigihan mereka bersenggama dengan Internet selama 24 jam sehari!
“Dulu kami sering berbagi waktu 12 jam nongkrongin Internet. Doci jaga saat shift tengah malam sampai siang saat bule di sana sedang online, sementara shift siang sampai malam pas anak-anak di Indonesia lagi online, gue yang jaga,” jelas Aldykumis, pemain drum Pee Wee Gaskins.

Hasilnya, menurut statistik, lagu-lagu di akun MySpace mereka total telah didengar lebih dari 1.924.025 kali, belum termasuk hampir dua juta kali akun tersebut diakses publik. Sementara fanbase mereka di Facebook telah mencapai 386.992 orang dan terus bertambah banyak setiap harinya. Selama lebih dari setahun single mereka juga bertengger di chart jejaring sosial musikal terkemuka Asia Tenggara, Amp Channel [V].

Band ini awalnya merupakan proyek solo akustik Dochi, setelah mundur sebagai gitaris The Side Project, yang awalnya iseng me-rekam salah satu lagu karangannya sendiri ke dalam format band. Nama Pee Wee Gaskins sendiri sebenarnya merupakan nama seorang pembunuh berantai terkenal asal North Carolina, Amerika Serikat, yang diduga telah membunuh sekitar 100 orang sejak awal 1970-an.
Selama tiga tahun sejak mereka berdiri di bulan April 2007 Pee Wee Gaskins telah me-rilis satu album mini dan satu album penuh. CD debut mereka yang bertitel Stories From Our High School Years (2008) dalam waktu supersingkat terjual 2000 keping sementara CD album penuh yang bertitel The Sophomore (2009) hingga kini mencetak angka penjualan lebih dari 20.000 keping. Di tengah lesunya bisnis rekaman fisik, angka tersebut bukan tergolong kecil. Ini belum terhitung ribuan merchandise mereka yang laku keras dalam waktu yang cepat pula di berbagai distro.

Fenomena Pee Wee Gaskins yang besar di jalur indie dengan cepat direspon berbagai stasiun radio serta stasiun televisi nasional. Mereka seperti tersentak dengan besarnya fanbase dan potensi pasar yang dimiliki band ini. Semua berlomba-lomba memutar lagu dan menampilkan mereka di berbagai program musik harian televisi seperti Dahsyat, Inbox dan sebagainya.

Manuver yang dilakukan band indie ini sempat membuat beberapa major label internasional tertarik merekrut mereka, namun mereka akhirnya lebih memilih bekerjasama dengan minor label seperti Variant Records dan kini, Alfa Records.
“Kami ingin menunjukan kalau kami bukan band yang dibentuk label. Kalau nanti kami berubah memang karena kesadaran sendiri, bukan karena diarahkan. Kami ingin ada sisi lain dari Pee Wee Gaskins yang tetap kami pertahankan yaitu do it yourself dan be yourself,” jelas Dochi, pendiri sekaligus gitaris/vokalis Pee Wee Gaskins.

Akhirnya, pengakuan media bagi band ini pun mulai bergulir. Penghargaan dari majalah HAI sebagai “The Best Indie Band” hingga penghargaan MTV Indonesia 2009 sebagai “The Best Cutting Edge Artist” pun mereka dapatkan.
Namun sialnya, semakin besar band ini berkembang, semakin besar pula level ancaman dan kebencian yang mereka dapatkan. Hampir di setiap panggung, Pee Wee Gaskins menerima hujatan dan gempuran timpukan batu dari ratusan pembenci mereka yang menamakan diri sebagai komunitas Anti Pee Wee Gaskins (APWG). Komunitas pembenci ini, jika ditilik via Facebook, berjumlah cukup banyak dan tersebar mulai dari Jakarta, Sukabumi, Bogor, Bandung, Majalengka, Kediri, Pontianak hingga Manado.

Hujan batu paling gencar yang menimpa mereka terjadi di festival Soundrenaline 2009 di GWK, Bali. Saat itu mereka tampil di bawah tekanan besar ribuan penonton yang meminta mereka turun dan terus menimpuki dengan batu, botol, sandal hingga ember. Mereka akhirnya survive hingga lagu terakhir walau gempuran deras terus menimpa.

“Sebelumnya di Bali ada yang menyebar gosip bahwa kami bermusuhan dengan Superman Is Dead, menghina orang Bali yang menyembah batu dan disebut pernah memainkan cewek Bali,” jelas Dochi.

Ancaman demi ancaman tak hanya dialami langsung oleh Dochi, gitaris/vokalis Sansan, pemain moog/synths Omo, Aldykumis dan pemain bas Eye, namun juga terhadap Party Dorks, julukan bagi penggemar mereka. Ada yang sempat ditodong pisau, dikejar-kejar bagai pesakitan saat menyaksikan band idola mereka tampil hingga mobil angkot yang di-sewa sempat dipecahkan seluruh kacanya oleh gerombolan APWG.

“Pernah setelah tampil di sebuah acara kami terlibat kontak fisik dengan APWG. Kami bersembilan melawan tiga puluh orang APWG, lokasinya di depan hotel Sultan,” kenang Dochi. “Waktu itu rombongan APWG lewat depan mata kami, mereka membuka celana, mengencingi kami sambil mengacungkan jari tengah. Kami hampiri dan akhirnya tawuran di pinggir jalan. Ada yang tertangkap dan kami interograsi tapi mereka tidak tahu alasan membenci kami, aneh. Mereka kebanyakan ikut-ikutan saja.”

Tekanan demi tekanan yang dihadapi oleh Pee Wee Gaskins akhirnya menimbulkan simpati dari para musisi lainnya. Para per-sonel Superman Is Dead, Shaggydog, Endank Soekamti hingga penyanyi solo Ari Lasso pun memberikan dukungan kepada mereka. Arian13-, vokalis Seringai di sebuah acara bahkan sempat berkata kalau para anggota Pee Wee Gaskins adalah: “The toughest motherfuckers around!” 
Penerbit Musik
 
Bookmark and Share

Maestro keroncong indone-sia, Alm.Gesang Martohartono pada tanggal 1 Oktober silam telah berusia 91 tahun. Lagu-lagu legen-daris seperti Bengawan Solo, Jembatan Merah, Sapu Tangan dan Sebelum Aku Mati sejak diciptakan puluhan tahun lalu hingga saat ini masih terus dinikmati oleh banyak orang, tak hanya di Indonesia bahkan di pentas internasional. Untuk merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 3 Oktober silam, di kota Solo diselenggarakan acara simbolik penye-rahan royalti tahunan kepada Gesang oleh Penerbit Musik Pertiwi [PMP]. Penerbit musik [publisher] yang berada di bawah bendera label rekaman Gema Nada Pertiwi ini sejak tahun 1996 diberikan kuasa oleh Gesang untuk menge-lola hak ekonomi serta mengeksploitasi lagu-lagu ciptaannya. PMP selama ini lebih fokus untuk mengelola hak cipta lagu-lagu daerah atau lagu-lagu klasik dalam negeri.

Tahun 2008 ini Gesang menerima ro-yalti sebesar Rp 70.033.968,- [setelah dipotong pajak]. Angka sebesar itu menurut Penerbit Musik Pertiwi diperoleh dari penggunaan lagu-lagu Gesang di dalam dan luar negeri. Untuk eksploitasi di luar negeri, Penerbit Musik Pertiwi bekerjasama dengan Universal Music Publishing dan Warner-Chappell Music Publishing. Bagi komposer kampiun seperti Gesang, royalti yang diterima setiap tahun olehnya ibarat dana pensiun pencipta lagu yang akan menjamin kehidupan me-reka di hari tua. Menurut UU Hak Cipta No. 19/2002, Gesang atau komposer lainnya berhak menerima royalti seumur hidup ditambah 75 tahun setelah ia me-ning-gal dunia. Selanjutnya royalti tersebut akan diberikan kepada ahli waris yang telah ditunjuk oleh Gesang. Jika telah melewati batas waktu, maka hak cipta dari seluruh lagu karya Gesang akan dikelola langsung oleh negara.


Perbedaan di antara penerbit musik
Saat ini ada empat label rekaman yang dikategorikan sebagai major label: Universal Music Group, Sony BMG Entertainment, Warner Music Group, dan EMI Music. Mereka inilah yang mendominasi 80% industri musik di dunia. Masing-masing label ini memiliki penerbit musik sendiri di bawah bendera mereka: Universal Music Group memiliki Universal Music Publishing, Warner Music Group memiliki Warner-Chappell Music Publishing, EMI Music Distribution memiliki EMI Music Publishing dan Sony BMG Music memiliki Sony BMG Music Publishing.

Berikutnya adalah perusahaan penerbit musik kecil atau perusahaan manajemen artis yang memiliki divisi penerbit musik. Penerbit musik seperti ini biasa-nya jarang berkompetisi dengan penerbit musik besar. Para pencipta lagu yang tidak bergabung dengan penerbit musik besar biasanya bergabung di penerbit musik seperti ini. Penerbit musik kecil biasanya juga lebih aktif dalam melakukan eksploitasi atas karya yang mereka representasikan. Mereka juga biasanya lebih kreatif dalam menyusun kerjasama de-ngan pihak luar. Pastikan penerbit kecil ini mampu menyediakan layanan sesuai dengan apa yang Anda butuhkan. Jangan teken kontrak dengan penerbit musik kecil apabila karya Anda tidak menda-patkan perhatian dari layanan dasar yang Anda inginkan.

Perbedaan jenis kerjasama penerbitan musik
Pembagian royalti antara penerbit musik dengan artis atau pencipta lagu adalah 50% bagi pencipta dan 50% bagi penerbit musiknya. Sebelum menjalin kerjasama dengan penerbit, musik Anda masih memiliki semua keuntungan tersebut. Berikut jenis kerjasama penerbitan musik yang biasa berlaku, termasuk di antaranya co-publishing, administrasi dan single-song.

Kapan bekerjasama
dengan penerbit musik?
Ada beberapa strategi untuk menentukan kapan waktu yang tepat bagi Anda untuk menandatangani kerjasama penerbitan musik. Seperti telah diulas sebe-lumnya, strategi Anda sangat tergantung dengan level status yang telah dicapai oleh Anda sebagai artis atau pencipta lagu

Friday, September 3, 2010

 INILAH MUSIK INDONESIA HARI INI




Ledakan musik populer Indonesia belakangan ini adalah sebuah fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya di masa lampau, bahkan sejak republik ini berdiri 64 tahun yang lalu. Hari ini musik Indonesia telah sukses menduduki singgasana sebagai tuan rumah di tanahairnya sendiri. Sebagian besar penikmat musik di Indonesia lebih menggemari musik dari artis-artis nasional, bahkan lucunya Malaysia pun tengah dilanda ketakutan musik Indonesia bakal menjadi tuan rumah pula di negara mereka.

Perkembangan teknologi musik digital, demokratisasi bahkan otonomi daerah diduga menyumbang terbesar pada perubahan peta dalam kancah musik Indonesia saat ini. Semua orang bisa menjadi musisi, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi superstar, entah ia berasal dari Kalimantan Selatan, Lampung, Sukabumi, Bogor, Padang atau Makassar. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta atau Surabaya tidak lagi mendominasi proses reproduksi superstar di negeri ini. Semua sama.

Dengan hadirnya kembali dukungan dari berbagai stasiun TV, yang pernah malas mendukung musik Indonesia kecuali dangdut - beberapa tahun lalu, membuat musik Indonesia tampil semakin bergairah walau notabene problem-problem berikutnya juga muncul ke permukaan.
Diluar sistem bisnis dan industri musik yang masih amburadul, pembajakan musik yang makin merajai penjualan, kualitas musik populer Indonesia hari ini juga semakin digugat oleh sebagian kecil masyarakat. Sementara sebagian besar masyarakat lainnya seperti tidak peduli dan malas berargumentasi. Sembari asyik membeli CD atau MP3 bajakan, mendownload musik 30 detik ala ringback tone, bergembira ria atau berusuh ria di konser-konser gratis hingga terinspirasi membuat lagu setelah berselingkuh adalah fenomena yang nyata menggejala di masyarakat kita belakangan ini.
Dalam rangka menyambut Hari Musik Nasional pada 9 Maret mendatang, Majalah Rolling Stone Indonesia setiap tahunnya selalu mengundang para pelaku sekaligus figur signifikan di dalam industri musik guna membicarakan perubahan atau perkembangan paling mutakhir yang terjadi di blantika musik nasional sekarang ini. Setidaknya dalam genggaman mereka lah tercipta kemajuan [mungkin juga kemunduran?] pada musik populer Indonesia hari ini.
Berikut adalah profil para panelis dari focus group discussion yang diselenggarakan pada awal Februari silam di Rolling Stone Headquarters di bilangan Ampera, Jakarta. Mereka adalah:

FARIZ RM : Salah seorang arsitek musik pop Indonesia yang tahun lalu ditahbiskan sebagai satu dari 25 musisi The Immortals versi majalah ini.  
RAHAYU KERTAWIGUNA : Managing Director Nagaswara Records yang merilis di antaranya album-album milik Kerispatih, Wali, T2, Seventeen dan bahkan Soesilo Bambang Yudhoyono. Figur yang sangat pro-aktif dalam memberantas pembajakan musik di Indonesia dengan mendirikan .  
BHITA HARWANTRI : Music Director I-Radio FM Jakarta, radio berpengaruh pertama di Indonesia yang memberikan dukungan sepenuhnya hanya dengan memutar musik populer Indonesia. Memiliki jaringan di Bandung dan Yogyakarta. EKO YUDIYANTHO : Music Director Cosmopolitan 90,4 FM sekaligus Ketua Asosiasi Music Director Indonesia [AMDI]. Organisasi satu-satunya yang menaungi para music director stasiun radio di Indonesia. KRISNA J. SADRACH : Pemain bass sekaligus leader band thrash metal pionir Suckerhead yang juga berprofesi sebagai Produser Musik bagi Ungu, ST12 dan Sindentosca. DUTO SULISTIADI : General Manager Production SCTV [Surya Citra Televisi] yang ikut mempelopori kembalinya musik Indonesia ke televisi dengan melahirkan program musik seperti Hip Hip Hura dan Inbox yang menjadi role model bagi seluruh stasiun TV swasta. CHOLIL MAHMUD : Pemain gitar, vokalis sekaligus konseptor musik dan lirik Efek Rumah Kaca, band yang didaulat ikut membawa perubahan bagi musik Indonesia dan pernah membuat hit indie Cinta Melulu. DENNY SAKRIE : Pemerhati/penulis/sejarawan musik populer Indonesia sejak 1985 dan sempat menjadi music director radio rock M97 FM serta penyiar di Radio Suara Irama Indah, FeMale, Delta dan M97 FM. ANTON WAHYUDI : Program Director Otomotion FM dan mantan Music Director Prambors Rasisonia. Ketika hadir ke diskusi ia masih menjadi A&R Manager NuBuzz Network. * * *
Bagaimana kualitas musik Indonesia hari ini? Banyak yang bilang tengah menurun? Fariz RM: Masing-masing dari kita punya peran dan tanggungjawab, yang nggak ada adalah sinergi dari peran itu. Sehingga kita tidak pernah punya standar kualitas, kita berbicara sesuai dengan kepentingan masing-masing yang sesuai dengan kerja profesional kita. Tapi kita tidak pernah punya standar tentang kualitas musik Indonesia itu apa?
Kalau bicara kualitas sekarang ini pasti akan membingungkan, karena akan bergerak sesuai kepentingan masing-masing. Pihak label pasti akan bicara apapun asal menyelamatkan bisnis mereka dulu, itu yang menjadi standar mereka. Sementara media ingin mengakomodasi apa yang ingin didengar orang banyak. Makanya kita perlu menetapkan standarnya dulu sebagai tolok ukurnya. Duto: Sebagai orang SCTV dan bekerja di media massa maka yang saya pikirkan adalah massa-nya saja. I dont care about the quality. Saya nggak peduli dengan kualitas. Semakin banyak pelaku, pebisnis, label rekaman maka semakin bagus. Kenapa? Karena saya hidup sudah beberapa dasawarsa dengan beberapa pemerintahan. Di jaman Soeharto, dulu nggak boleh begini, nggak boleh begitu. Semua harus sempurna sesuai dengan kemauan dia.
Kalau sekarang mau ditanya musik seperti apa yang saya mau? Sebenarnya musik yang seperti sekarang ini ke depannya, terlepas dari bisnis ya, kita berbicara kualitas sekarang. Kalau dulu kita harus menahan diri untuk mengekspresikan diri, semua harus cantik, semua harus ganteng, liriknya harus bagus, harus puitis. Dulu karena faktor pemerintah yang ketat mengontrol, kalau bukan pemerintahnya yang mengontrol maka elemen yang lain mengeluarkan fatwa. Kalau sudah mengeluarkan fatwa di Indonesia maka semuanya berbahaya.
Musik seperti sekarang inilah yang saya inginkan. Begitu banyak musik beraneka ragam, banyak pelakunya. Kalau saya bilang hingga ke lima tahun ke depan I dont care about the quality, saya ingin mendengar musik Indonesia yang beraneka ragam. Bagaimana peran radio sekarang ini di Indonesia? Eko: Dari dulu sampai sekarang radio punya standar karena setiap musik apapun yang masuk ke radio maka dia akan tergeneralisasi secara alamiah, artinya ini adalah musik pop, rock tanpa harus melihat apapun jenis radionya. Sulitnya ketika radio juga masuk ke era segmentasi dimana ada radio untuk cowok dan radio untuk cewek, terutama di Jakarta, karena teman-teman radio daerah lebih umum biasanya. Jadi kalau ada band yang bisa ngetop di Jember dan memiliki banyak massa penggemar mungkin itu berkat peran TV lokal di daerah mereka yang berusaha untuk memunculkan artis-artis yang ada di kawasan mereka. Radio sebenarnya bisa memutar segala jenis musik cuma kembali ke masing-masing policy stasiun radionya lagi. Radio A misalnya tidak bisa memutar lagu yang sepeti apa. Kenapa tidak bisa memutar? Karena persepsinya status sosial ekonomi masing-masing radio, apakah segmen A, B, C, D.
Kenapa akhirnya kami membuat asosiasi music director karena kami memperhatikan kinerja music director harus benar-benar independen dan bebas. Harus terinspirasi dengan musiknya. Ketika ia mendengar musik maka ia harus mampu menerjemahkan, kapan waktu yang tepat untuk memutar musik tertentu di radio mereka. Tapi setelah kembali ke policy-nya music director [MD] akan menjadi sangat sulit karena kita harus selalu berada di tengah-tengah. Adib: Apakah radio ikut menurunkan kualitas musik yang diputar? Eko: Pasti. Selama sepuluh tahun terakhir kami juga berevolusi karena gue mengakomodir kepentingan teman-teman MD. Gue tahu persis radio apa yang tidak memutar sebuah lagu tapi kemudian ikut memutar lagu itu. Bukan karena MDnya suka atau tidak suka tapi lebih karena menurunkan kriteria musik top level untuk ikut mendukung musik yang sedang menjadi fenomena di masyarakat. Jadi kami harus mengakomodir juga. Apakah ini bentuk evolusi atau kompromi radio? Bhita: Kompromi itu menurut gue salah satu bagian dari evolusi. Bagaimana kita berkembang. Ada banyak faktor di dalamnya. Ketika bicara musik di Indonesia mau nggak mau kita berbicara bisnis. Menurut gue ini seperti teori ayam dan telur, siapa yang ngikutin dan siapa yang lebih dulu? Kalau sekarang TV melihat ke radio dulu mana lagu yang hits kayaknya sudah tidak seperti itu lagi karena pada akhirnya sekarang banyak radio yang terdesak karena di TV perputaran video klipnya cepat sekali. Lagunya sudah tayang di televisi tapi di radio belum memutar sementara orang sudah banyak yang me-request. Eko: Kalau Mas Duto bilang tadi nggak peduli dengan kualitas karena pada akhirnya yang menentukan adalah selera masyarakat. Kami juga pernah bincang internal dengan teman-teman di radio, setuju dengan Mas Fariz, harus ada standar penilaian yang menjadi jembatan. Kami inginnya lepas dari policy perusahaan, pengennya semua musik bisa diakomodir.
Karena kami adalah pihak yang paling rewel di bagian programming radio maka kami ingin sekali mereka juga teredukasi, bukan berarti mengajarkan masyarakat tetapi memberikan pilihan bahwa ada juga musik-musik lain yang perlu didengarkan. Itu pembahasan beberarapa tahun lalu dimana sering banget topik ini muncul di mailing list, dituduh musik sampah dan sebagainya. Sebenarnya radio tidak berpandangan seperti itu. Sekarang dari beberapa elemen masyarakat kami juga diserang. Kok radio maininnya yang itu-itu saja. Apa yang ada di kepala Cholil ketika menciptakan hit indie Cinta Melulu?
Cholil:
Kalau dari sejarah terbentuknya lagu itu karena memang jenuh, dimana-mana secara mainstream, baik di TV, radio, sepertinya nggak ada topik lain yang dibahas dalam sebuah lagu. Padahal kita sebenarnya kaya sekali tema-tema lagu di jaman dulu. Semua pihak sepertinya harus memiliki visi yang sama dulu jika ingin berbicara tentang kualitas, mungkin seharusnya pemerintah harus ada wakilnya disini karena mereka memegang peranan juga agar orang dapat mengapresiasi musik yang berkualitas.
Mereka harus memperhatikan bagaimana membuat program pendidikan yang membuat individu tertarik untuk mengapresiasi musik yang berkualitas, seandainya itu yang menjadi ukurannya. Baru setelah itu kita baru bisa berbicara ke masing-masing media, kalau media massa hanya mementingkan massanya saja sekarang pertanyaanya dibalik, bisa nggak yang berkualitasnya juga diapresiasi oleh massa? Kalau massanya sudah cerdas semestinya musik yang berkualitas juga bisa diapresiasi oleh massa. Harusnya begitu. Bagaimana dengan anggapan kalau orang Melayu cenderung suka mendayu-dayu seperti lirik yang Anda tulis di lagu itu? Cholil: Kalau masalah Melayu seperti itu memang perlu penelitian lebih lanjut. Tetapi konotasi Timur cenderung minor dan mayor cenderung ke Barat agaknya memang begitu. Suasana kord minor lebih gelap biasanya dibanding kord mayor dan itu membawa ke arah melankoli. Tapi Melayu di lirik saya juga bisa berarti me..layu. Dualisme penafsiran, itu juga sebuah pertanyaan, apakah karena kita memang Melayu yang terpengaruh notasi timur yang cenderung gelap sementara gelap itu cenderung melankolis dan sendu-sendu. Fariz RM: Itu kan pendapat, sah-sah saja memberikan pendapat. Dan pendapat patut jadi pemikiran. Gue pernah menulis juga misalnya, jangan skeptis dengan Kangen Band, siapa bilang Kangen Band nggak kreatif? Memangnya gampang membuat musik seperti Rinto dulu? Susah juga. Dan bahwasanya mereka kemudian berhasil merebut animo masyarakat itu bukan hal gampang. Coba aja dibikin. Kalau bisa dibikin, susah itu. Makanya dulu gue nggak sependapat dengan pendapat teman-teman yang membuat istilah pop kreatif, sembarangan. Karena bikin lagu seperti Rinto itu kreatif juga. Bagaimana kontribusi label terhadap kualitas musik Indonesia itu tadi? Pak Rahayu: Label sebetulnya nggak semata-mata melihat peluang bisnis bagus dan langsung memproduksi musik sekarang yang agak dimusuhin oleh radio yaitu lagu-lagu pop Melayu. Tetapi secara prinsip label itu juga harus mengerti selera pasar, karena kami berdagang kan? Meskipun dia juga memiliki idealisme sendiri.
Kalau saya setiap memproduksi nggak semata-mata mengaca ke pasar juga, terkadang ada idealismenya tapi secara global kami juga berpikir setidaknya 50- 50. Yang 50% orientasi pasar dan 50% spekulasi saja. Misalnya ada trend musik baru kami coba juga dan kalau tidak laku kami bisa eksploitasi di pasar yang 50% sisanya tadi. Bagaimana menyiasati bisnis musik di kondisi industri yang semakin sulit sekarang ini? Rahayu: Tentunya kalau di label kami berusaha mengubah infrastruktur, misalnya dengan memaintain kembali single-single, nggak selalu harus membuat album, karena di TV sekarang seperti program Inbox, Dahsyat, dan sebagainya sekarang lebih kompilatif. Kalau kami merilis album keenakan pembajaknya tetapi kalau kami merilis single, kami lihat dulu, dibajak atau nggak?
Kalau dibajak syukur. Saya mensiasatinya dengan memasang kode RBT, syukurlah kalau dibajak buat promosi juga [Tertawa]. Capek juga saya menangkapi pembajak ini, duit habis sementara polisinya dapat dari kanan-kiri. Jadi kami mensiasatinya. Daripada cost polisi kami buang begitu-begitu saja, lapor ke presiden juga begitu-begitu saja, lebih baik kami siasati dengan kode-kode itu. Orang anggap itu kode-kode buntut, masa bodo, yang penting dipasang, kami dapat profit dari RBT. Begitu menyiasatinya, kami sudah capek. Bagaimana Nagaswara memandang musik berkualitas?
Rahayu:
Kualitas musik artis kami tergantung segmennya. Kalau artisnya seperti Kerispatih maka kualitasnya lebih dominan tetapi kalau dapatnya sekelas Kangen Band atau Wali ya cingcai-cingcai aja deh [Tertawa]. Nggak perlu yang bagus-bagus rekamannya. Karena lucu juga suatu kali vokalis Wali dikasih mic yang bagus, vokalnya malah nggak bagus, sementara dikasih mic yang Cuma seharga Rp 800 ribu malah bagus. Bingung juga jadinya, benar-benar kejadian itu. Aneh. Banyak rilisan dari Nagaswara yang nggak banyak berbeda musiknya?
Rahayu: Sebenarnya ada yang beda kok. Sebenarnya yang baru rilis saja hampir sama tapi sebenarnya ada juga yang kayak rock & roll cuma belum sempat rilis saja, masih melihat kondisi pasarnya juga. Kalau masalah udah menumpuk kalau kami nggak rilis yang lain keluar juga. Sama saja. Apakah benar rekaman format fisik hanya sebagai pajangan di toko saja, label sekarang lebih fokus menjual ringback tone?
Rahayu:
Ya, hampir boleh dibilang seperti itu. Karena maintain toko juga susah, kecuali kalau kami punya toko sendiri, lebih bagus. Kalau misalnya kami nitip ke toko, mereka juga memilih produknya, jadi ada sistem kuota. Kalau dulu shipped out bisa sampai 50.000 keping sekarang ini 2.000 atau 3.000 aja sudah lemas, dan ini untuk peredaran di seluruh Indonesia. Udah capek semua label sekarang ini. Kecuali untuk album Mahadewi mungkin masih banyak yang berani, tapi kalau album untuk artis baru udah banyak yang nggak berani ambil. Bagaimana jika ringback tone sudah tidak laku lagi?
Rahayu:
Ya, Tuhan Maha Adil lah. Kami sudah dizhalimi masak Tuhan membiarkan saja? [Semua tertawa] Belum ada pengganti ringback tone?
Rahayu:
Sekarang sih lagi mencari, sedang diterawang, tanya ke ahlinya juga. Tapi di Indonesia masih berbahagia lah, kita lihat bajakannya masih subur padahal kalau di luar negeri bajakan fisik sudah hampir nggak ada, sudah ditinggalkan. Ricky: Sekarang artis-artis musik dengan kualitas bermusik yang lemah dan rendah sepertinya mewakili selera pasar? Duto: Kalau di TV kami ada sekian aspek yang harus diperhatikan, entah teknis dan artistik. Terlepas dari suaranya mendayu-dayu tapi mereka punya pengaruh kuat yang bisa menghipnotis pemirsanya. Kami nggak melihat suaranya fals ketika nyanyi live, entah artis yang besar di rekaman atau di panggung. Kalau bicara kualitas saya pribadi lebih menikmati musik yang sekarang. Kalau artis jaman dulu penontonnya nggak boleh jingkrak-jingkrak, nonton musik pop saja kayak nonton musik klasik. Sulit sekali. Yang lebih dinikmati itu nggak cuma suara kualitatifnya tapi berkaitan dengan penikmatnya juga. Oleh karena itu Inbox menampilkan artisnya secara minus-one atau playback? Duto: Kalau itu masalah teknis saja. Kalau dibilang kualitas saya agak sulit ngomongnya, bagi saya pemusik itu lebih baik main live, ketimbang minus one atau playback. Contohnya Nidji, mereka potensial, vokalisnya punya kekuatan secara visual. Ketika mereka muncul musiknya bagus secara kualitatif untuk ukuran jaman sekarang tapi mereka harus latihan terus. Berbeda dengan di jamannya Fariz RM. Kualitas kan tidak hanya berkualitas repertoar musik saja tapi diatas panggung juga dong, itu semua satu paket di jaman sekarang. Bagaimana menurut produser rekaman kualitas musisi jaman sekarang? Krisna: Sudah sempat dibahas oleh Mas Duto yang senang dengan kondisi jaman sekarang karena semakin banyak band. Efeknya itu, yang jelek banyak juga. Bukannya nggak ada yang bagus. Mungkin gue termasuk orang yang idealis karena gue pemusik jadi gue sangat memperhatikan faktor teknis bermusik. Beberapa band atau artis ada yang gue tolak karena menyanyinya fals, sementara di tempat lain dengan mudah vokalnya di auto-tune. Kalau menurut saya jaman sekarang yang menurun itu adalah kualitas pemusiknya, bukan karyanya. Susah juga membuat karya musik seperti itu. Nyontek itu pun susah [Tertawa]. Ujung-ujungnya teknologi digital ini sangat mudah copy-paste atau membuat copy. Itu juga yang merusak kualitas di kondisi musik ini sendiri selain memang karena penjualannya sedang turun. Mungkin musik sebentar lagi akan mirip barang-barang ringan asal Cina seperti paku, peniti, kancing, barang-barang yang dijual murah. Kuantitasnya banyak tapi bukan resmi. Mungkin seperti itu tren berikutnya nanti. Jadi kalau kualitas musiknya menurun toh bisa di upgrade secara digital nantinya. Bagaimana kualitas musik Indonesia menurut pengamat musik? Denny Sakrie: Kalau musik pop selalu disinggung masalah kualitas itu sangat abstrak sebenarnya. Karena dulu juga jaman Rahmat Kartolo, lagu Patah Hati dituding sebagai karya yang tidak berkualitas. Itu salah besar. Suara ketika menjadi musik merupakan sutu olah kreativitas yang memiliki kualitas di segmen masing-masing. Alangkah tidak adilnya kalau musik pop dianggap kurang berkualitas jka dibandingkan dengan musik jazz. Entah kenapa akhir-akhir ini sudah dua kali edisi Kompas menurunkan artikel mengangkat istilah bangkitnya pop kreatif, memangnya sudah masuk kuburan atau gimana? Mungkin istilah yang tepatnya adalah musik R&B atau soul tapi bukan pop kreatif!
Sekarang ini kita lihat begitu banyak band yang tampil tapi yang dieskpos TV atau terdengar di radio atau lapak bajakan sangat seragam. Karena terlalu banyak sampai sulit membedakannya. Sahabat saya wartawan musik senior Theodore KS menulis di Kompas kalau lagu Ketahuan itu milik Kangen Band [Tertawa]. Saya t ahu ia menulis begitu karena musiknya terdengar sama. Itulah dampak dari begitu banyaknya band jaman sekarang, tapi di sisi lain sangat menarik karena ini perkembangan yang menggembirakan.
Kalau dulu digembor-gemborkan Menteri Penerangan Harmoko, Jadikan Musik Indonesia Tuan Rumah di Negeri Sendiri maka sekarang ini saatnya. Orang Indonesia sudah malas mendengarkan lagu barat. Biasanya anak-anak muda di ujung gang selalu nyanyi sambil main gitar menyanyikan lagu-lagu barat, sekarang nggak lagi, mereka semua menyanyikan lagu Indonesia. Apa yang 20 tahun lalu masih diimpi-impikan sudah terwujud sekarang. Mungkin kita pinggirkan dulu yang namanya kualitas karena itu adalah perdebatan yang tidak akan ada habisnya. Apalagi membanding-bandingkan genre musik tertentu, walau sesame genre pop, itu sangat tidak adil.
Seperti jaman dulu, lagu-lagunya Pance dibilang tidak berkualitas sementara Fariz RM dan Dian Pramana Poetra berkualitas, pop kreatif! Padahal kalau kita lihat musik pop ini adalah kepanjangan dari musik populer, musik yang mewakili selera masyarakat yang mungkin heterogen tetapi yang namanya musik pop yang masuk ke dalam kuping mereka adalah musik yang menghibur, kita nggak berbicara tentang musik apresiatif. Berarti jaman sekarang semua musisi dari daerah punya kesempatan sama untuk menjadi superstar di Jakarta, contohnya seperti band asal Lampung, Sukabumi, Kalimantan? Bhita: Itu sepertinya mereka belajar dari radja. Gue kurang tahu apakah sengaja atau tidak. Mereka awalnya agak ditolak di Jakarta dan setelah di album ketiga strategi mereka berubah, mengepung daerah, menciptakan demand yang tinggi di sana dan baru merangsek ke ibukota sehingga membuat radio-radio yang tadinya tidak memutarkan lagu radja akhirnya memutar lagu-lagu radja. Dan terbukti sukses. Strategi yang sama digunakan oleh band-band lainnya. Fariz: Nah, itu sebenarnya yang harus dihindari. Jangan sampai semua studio latihan di Sukabumi menyarankan membuat musik seperti Vagetoz. Sebagai produser Krisna pasti tetap menginginkan sesuatu yang baru. Yang salah adalah setelah Vagetoz terkenal semuanya seperti berlomba-lomba ingin menjadi Vagetoz berikutnya. Itu yang salah. Dan sepertinya itu yang disorot Cholil dalam lagu Cinta Melulu. Denny: Tapi itu memang ciri khas bangsa Indonesia, selalu menjadi epigon, pembebek. Satu sukses semuanya mengikuti. Bukan hanya dalam musik, apa saja. Bhita: Kalau di Indonesia segala sesuatu baliknya ke urusan perut, ekonomi. Apakah karena negara ini sedang susah sehingga masyarakat pada umumnya referensi musiknya tidak terlalu luas, mungkin sekarang yang beruntung adalah yang tinggal di kota-kota besar karena dengan internet referensi masyarakat kita semakin berkembang.
Kedua mereka sudah capek kerja, butuh entertainment, yang simple, bisa ketawa-ketawa, mereka nggak mau pusing memikirkan musik dan semuanya dijawab musik-musik yang ada di mainstream kita sekarang ini. Mau musisi membuat musik berkualitas, apapun standar kualitasnya dan berniat membuat musik berkualitas menjadi raja di negara ini, kalau masyarakatnya belum bisa menerima bagaimana?
Percuma kalau membuat musik bagus dengan harapan musik itu diterima khalayak banyak, sementara khalayak banyak itu ternyata nggak mau pusing-pusing mikirin itu. Yang mereka cari ternyata sejauh musiknya bisa dinyanyikan, liriknya gue banget, bisa main gitar sambil nyanyi dan selesai.
Makanya kalau gue sekarang ditanya seperti apa musik Indonesia? Fair saja gue jawab seperti ST12, Kangen Band. Masalahnya kita rela atau nggak? Apakah negara kita mau diasosiasikan dengan Kangen Band? Yang menurut gue sekarang album keduanya sudah jauh lebih baik, minimal di albumnya mereka sekarang sudah nggak terlalu fals lagi. Minimal secara ikhlas gue memutarkan lagu mereka di dalam playlist radio gue [Tertawa]. Fariz: Seperti itulah kenyataannya. Karena orang radio pasti akan selamanya menjadi pelayan dari demandnya, itu faktanya. Orang TV dan produser juga seperti itu. Tapi kita nggak bakal bisa menjadi penentu dari standar musik karena kita belum mendengarkan opini masyarakat luas. Duto: Sebenarnya mayoritas masyarakat kelas bawah kita itulah yang membeli musik Indonesia, entah itu rekaman versi bajakan atau orisinalnya. Kalau yang kelas menengahnya mungkin mereka sudah mampu beli iPod, tinggal copy musiknya selesai. Begitu juga mereka yang mengirim sms ke radio dan TV, mendownload RBT, masyarakat kelas bawah. Rahayu: Benar, mayoritas yang tinggal di daerah, luar Jakarta penikmat dan pembeli musik Indonesia itu. Kalau yang di Jakarta sudah sedikit banget pembelinya. Jika dibandingkan dengan keadaan musik Indonesia sepuluh tahun lalu ketika munculnya Sheila On 7, Padi, Cokelat sepertinya jauh sekali perbedaannya dengan sekarang? Fariz: Mungkin perkembangan teknologi juga berdampak di sini. Dulu rekaman masih sulit dan mahal sehingga setiap masuk studio rekaman musisinya harus bertanggung jawab moral terhadap karyanya. Sekarang semua komputer bisa memuat software studio, semakin mudah membuat musik. Kemudahan teknologi seharusnya membuat musisinya paham tanggungjawab dalam bermusik. Makanya saya sering bilang jaman sekarang kita kekurangan pemusik yang memang benar-benar pemusik. Sekarang tolok ukurnya popularitas, semua orang ingin masuk televisi. Krisna: Gue punya pengalaman yang membuat gue agak shock. Dua tahun terakhir ternyata banyak band atau artis yang sama sekali nggak punya konsep saat masuk ke studio rekaman. Mereka ingin rekaman, karena punya satu atau dua lagu yang bagus. Karena gue idealis maka gue tanya kalian maunya seperti apa musiknya? Referensinya apa? Baru nanti gue kembangkan. Yang terjadi belakangan ini sering, bukan sedikit ya, mereka bilang, Terserah aja deh, Mas. Yang penting gue bisa ngetop! Itu nggak pernah ada jaman kita dulu. Jadi dibebankannya ke gue [Tertawa]. Bagaimana caranya membuat mereka bias ngetop? [Tertawa]. Gue jawab, Kalau gue bias, gue sudah ngetop duluan! [Tertawa]. Gue aja nggak ngetop, bagaimana bisa membuat elo ngetop? [Tertawa] Banyak terjadi penurunan moral di musisi sekarang. Cholil: Kalau menurut gue itu berkat campur tangan kita juga. Setiap tingkah laku kita memiliki dampak sosial membuat orang ingin ngetop. Pasti ada dampak positif dan negatif. Menurut gue kehadiran kita disini seharusnya bisa meminimalisir dampak negatif sosialnya. Kalau memang kita sepakat kualitasnya nggak menurun berarti kita nggak perlu berbuat apa-apa. Tapi kalau ternyata menurun apa yang harus dilakukan agar dampaknya bisa diminimalisir?
Misalnya kayak orang menyanyi lagu Selingkuh perlu diriset. Apakah kemudian menjadi semakin banyak orang yang melakukan prilaku selingkuh? Menjadi sesuatu yang biasa, apakah wajar? Orang jadi permisif dengan perselingkuhan. Itu kan termasuk dampak sosial dari lagu tersebut. Dan itu mungkin akibat prilaku industri yang tidak kita sadari. Dan pemusiknya juga mesti sadar kalau lagu dia berdampak sosial di masyarakat. Orang radio dan orang TV seharusnya memiliki visi yang sama tentang itu sehingga pondasi industrinya bisa dibangun lebih bagus. Fariz: Menurut gue apa yang terjadi sekarang ini adalah siklus aja. Kita pernah mengalami seperti ini sebelumnya di jaman A. Riyanto dan kawan-kawan. Kalau sekarang banyak orang bilang band hari ini musiknya sama saja, biarkan saja, pasti nanti akan habis. Dan setelah itu akan kembali lagi beraneka ragam. Memang kalau mau melihat era 70-80an kalau ada 10 artis maka beda semua musiknya, Ebiet G. Ade, Vina Panduwinata, Gombloh, Ahmad Albar, termasuk gue sendiri. Jaman itu pun TVRI punya program musik jazz, seriosa, pop masing-masing. Sekarang banyak TV tapi seperti nggak banyak pilihan. Kita harus setiap kali menyiasatinya. Pasar itu nggak bisa kita duga, sampai kapan pun nggak akan bisa kita prediksi. Duto: Elemen paling kuat untuk mengendalikan ini sebenarnya produser dan radio. Itu elemen terkuat. Jaringan radio paling kompak di Indonesia. TV terus terang saja industri baru, baru 20 tahun, sementara radio sudah berapa puluh tahun perjalanananya di sini. Industri TV masih baru lah, kalau mau di rem mungkin berawal dari industri radio dulu. Contohnya lagu-lagu bertema selingkuh, ketika sudah tahu kalau jaringan radio kompak maka tema selingkuh bisa disudahi dulu. Dikurangi dulu dan naikkan tema lain. Karena TV pada dasarnya mendengar radio, para produser dan pengarah musik di TV adalah pendengar radio juga… Denny: Cuma masalahnya, tema selingkuh itu ada karena orang terinspirasi saat menonton infotainment, itu dari TV juga. Semuanya hampir seperti itu. Apalagi orang lebih tertarik menyaksikan audio visual daripada mendengarkan radio… Duto: Cuma kita kan nggak mau seperti di Amerika dong. Dimana lirik rap isinya ajakan untuk membunuh orang. Dibandingkan tema itu, selingkuh masih anu lah ya… Cholil: Artinya kalau TV bisa punya batasan lirik untuk tidak membunuh orang, mungkin TV seharusnya punya batasan juga terhadap hal-hal yang berdampak negatif di masyarakat. Walau sifatnya hiburan pun tetap bisa mengedukasi seharusnya. Fariz: Idealnya kita memiliki filter dalam diri sendiri dulu, tapi dengan tidak mengekang kebebasan berekspresi. Itu kenapa akhirnya gue tidak pernah menciptakan lagu bertema selingkuh karena menurut gue masih banyak masalah lain yang lebih penting. Bagi gue sendiri juga malu untuk mengungkapkan hal itu ke publik karena tema selingkuh nggak membuat gue menjadi enak untuk berkarya. Seperti lagu Ketahuan, well, cmon, mereka kayak nggak bisa melihat masalah lain di dunia saja. Gue nggak mencaci lagu itu tapi kayaknya lagu seperti itu nggak mencerminkan intelektualitas, nggak mendidik. Seperti nggak memiliki tanggung jawab moral apapun bagi bangsa atau negara ini. Bagaimana dengan hit yang datang dari indie seperti Kepompong milik Sindentosca, misalnya?
Anton:
Mungkin itu kebetulan yang ada rumusnya. Benchmarknya ke market. Kami melihat bagaimana mengcapture selera pasar yang nggak bisa di drive sama siapapun. Karena market bisa dibilang terbentuk sendiri. Kalau ada produk yang berhasil di pasaran menurut saya itu karena ada marketnya. Kalau sebelumnya produk itu belum ada dan dia pelopornya berarti pembuatnya tahu kalau musik seperti itu ada pasarnya. Penciuman itulah yang menjadi penting di industri.
Walaupun saya termasuk pendatang baru di produksi musik namun kami percaya kalau single Kepompong itu temanya jauh dari tren hari ini, liriknya pun berbeda. Sementara kalau Efek Rumah Kaca ini menurut saya smart sekali bias mengcapture market yang masih kosong. Saya nggak tahu apakah ada pertimbangan marketing juga atau tidak. Kolamnya belum penuh, jarang ada yang bermain disana. Sementara kalau mau main di pop melayu kolamnya sekarang semakin padat, mungkin sudah seperti laut. Bagi sebagian kecil orang artis indie adalah penyelamat kualitas musik Indonesia tapi ironisnya kurang mendapat dukungan dari radio atau TV? Cholil: Kalau di radio mungkin lebih mending daripada TV. Karena tren radio memang di kota besar seperti Jakarta, menciptakan musik yang berbeda dan mungkin itu yang diminta para pendengarnya. Sementara TV yang memiliki pengaruh besar dan cakupannya nasional agak sulit. Entah karena standar broadcast video klipnya kurang bagus atau memang harus pakai dana operasional. Mungkin labelnya harus bayar kalau video klipnya ingin ditayangkan. Kayaknya seperti itu deh di beberapa stasiun TV.
Sekarang tinggal seberapa peduli pihak TV akan keberlangsungan industri musik ini nantinya? Apakah perlu dipertimbangkan mendukung musik mereka yang katanya bagus ini? Manajer kami sempat bertanya ke stasiun TV mengapa mereka menayangkan video klip Cinta Melulu padahal videonya biasa saja dan lirik lagunya justru menyindir band-band yang dibarengin di sana. Jawabannya karena airplay di radionya kencang dan demandnya besar. Akhirnya TV meruntuhkan standar mereka sendiri. Duto: TV biasanya kalau ada album atau artis baru dipromosikan melihat dulu, apakah sudah bunyi di radio atau belum? Bagi indie bukannya nggak punya lahan, kami punya, tapi bagaimana secara jeli melihatnya. Karena di TV kami biasanya nggak berani masang artis kalau mereka musiknya belum diputar di radio minimal dua minggu sebelumnya, contohnya di Inbox. Masalah popularitas artis indie dipertimbangkan juga untuk masuk televisi? Duto: TV itu adalah salah satu media perantara untuk mengantar jenjang karir artis ke level berikutnya. Setelah radio memutar baru TV nanti melihat. TV itu kan bisnis bangetlah. Walau sifatnya musik alternatif tapi harus tetap punya lahan. Kalau di TV trennya sangat gampang berubah, tergantung ownernya. Dan itu juga tetap tergantung kinerja kreatif anak buahnya. Kalau praktik membayar secara illegal agar video klip ditayangkan di TV? Duto: Kalau di Inbox nggak ada seperti itu. Jika harus membayar kalau ketahuan pasti dipecat. Bhita: Gue pikir itu tidak tertutup hanya di TV saja, media-media lain pun mungkin ada juga, entah secara resmi atau tidak resmi. Mereka menyatakan kalau lagu bisa dihitung sebagai iklan, karena itu branding juga. Kalau berhak menjadi materi iklan kenapa tidak? Itu strategi media yang sampai kapanpun akan tetap ada karena termasuk strategi pemasaran. Sebagai artis, label atau produser pasti akan menempuh cara apapun agar musik mereka di dengar, nggak perlu sampai ngetop dulu. Masyarakat suka atau tidak urusan belakangan. Bhita: Kalau Mas Fariz dulu bilang kita pernah mengalami situasi seperti ini dengan artis-artis solo dan sekarang jamannya band-band pop Melayu. Fenomena ini mau tidak mau sudah terjadi dan nggak bisa dihindari. Sekarang yang bisa kita lakukan adalah bagaimana supaya, satu, mempercepat bola salju ini agar orang semakin jenuh atau saat keadaan sedang begini kita selipkan lagu-lagu yang bagus tapi tidak dilakukan sendiri-sendiri, mesti beramai-ramai. Bagaimana dengan nasib musik rock di radio dan TV sebagai bagian dari musik Indonesia? Bhita: Dulu kami pernah punya program untuk musik rock di I-Radio, namanya I-Rock Kasta yang tidak akan mungkin diputar di radio-radio lainnya karena sangat tidak radio-friendly dan sekarang di drop karena ratingnya tidak pernah bagus dan tidak radio sound. Bayangkan saja penyiar gue bilang, OK, kita nikmati lagu berikut ini dari Siksakubur dan berikutnya dari grup Kembang Kuburan [Tertawa]. Dan yang di dengar adalah suara growling. Seringai saja yang dulu gue putar musiknya sekarang tidak bisa lagi karena tidak ada acaranya. Untuk I-Radio akhirnya gue lebih melihat kalau radio itu menghibur dan menyiarkan musik-musik yang mass-product. Duto: Kalau di TV, rock sekarang generasinya cenderung vandalisme. Dalam arti kelompok penikmatnya rusuh. Contohnya kami ngeri kalau memainkan Slank bersama artis-artis pop lainnya. Mengapa? Karena yang paling duluan datang ke venue pasti Slankers. Cenderung rusuh. Setidak-tidaknya yang pop ditimpukin. Repot juga jadinya. Kecuali kalau mereka main sendiri atau dimainkan dengan band-band rock sejenis itu masih lebih mendingan. Dan terkadang secara visual untuk ukuran TV juga penampilannya agak ngeri. Kesimpulan dan harapan kalian demi masa depan musik Indonesia? Denny: Musik Indonesia dalam perkembangan lima tahun terakhir ini terbilang luar biasa karena telah berhasil menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Hampir 90% orang Indonesia sekarang ini menyanyikan lagu-lagu Indonesia. Pemandangan yang sangat jarang terjadi pada dekade-dekade sebelumnya. Sekarang orang bangga menyanyikan lagu Indonesia. Banyaknya band juga hal yang bagus secara kuantitas tapi memang selalu terjadi siklus di industri, pengulangan dari beberapa dekade sebelumnya.
Saya ingat akhir tahun 60an ketika Koes Plus merajalela saat itu dan mereka menjadi role model sehingga semua band yang ada hampir semuanya ingin menjadi mereka. Sampai mencapai titik kulminasi hingga pertengahan tahun 70an muncul album Badai Pasti Berlalu yang meng-counter lagu-lagu yang disebut Remy Sylado sebagai pop cengeng. Mungkin sama dengan pop menye-menye sekarang akan mencapai titik kulminasinya juga. Dengan kemunculan band-band indie seperti Efek Rumah Kaca, SORE dan sebagainya mudah-mudahan bisa meng-counter epigon-epigon atau para pembebek di musik kita. Eko: Gue sangat optimis karena sekarang banyak sekali musisi-musisi baru yang muncul, idealnya dengan begitu akan banyak pilihan bagi masyarakat. Dan radio sebagai pelaku industri optimis juga, selain menjadi pelayan pendengar juga memberikan sesuatu yang bersifat edukatif bagi pendengarnya. Ditambah lagi besarnya dukungan TV sekarang ini akan semakin cerah masa depannya nanti. Kalau bicara kualitas untuk ukuran Asia Tenggara, musisi Indonesia masih paling bagus. Melihat banyaknya band-band pop Melayu di pasar sekarang ini dibiarkan saja karena gue percaya akan hukum alam, only the fittest will survive. Fariz: Yang paling penting kita bersama-sama harus mengambil peran demi kemajuan musik Indonesia, jangan sendiri-sendiri. Setidaknya dengan band-band yang semakin banyak sekarang ini mereka akan mengalami seleksi alam juga. Sedikitnya mereka seharusnya berjuang keras selama dua atau tiga tahun untuk mencapai mimpi mereka menjadi musisi terkenal seperti yang Krisna bilang tadi. Duto: Kondisi musik sekarang itu sebenarnya membahagiakan. Banyak pelaku dan artis-artis baru yang muncul. Masalah kualitas itu urusan selera masing-masing. Masyarakat kita sekarang ini juga sudah dewasa dan pintar, mereka bisa memilih yang terbaik bagi mereka sendiri. Dinikmati saja sekarang ini musik Indonesia. Cholil: Pasar musik ini sebenarnya mengambang. Bagaimana kita sebagai para pelakunya, entah artis, media massa, label, produser, bisa mengarahkan mereka ke arah yang tepat dan berkualitas. Bagaimana juga kita memperhatikan tanggung jawab sosial dari pekerjaan kita masing-masing ini. Semoga masyarakat luas itu juga bisa mengapresiasi musik-musik yang berkualitas. Bukan kuantitas penjualan saja yang diperhatikan. Krisna: Kalau dibilang kualitasnya menurun gue setuju, terutama karena siklus tadi dan itu akan berputar terus. Mengenai penurunan kualitas musisinya sendiri yang sekarang serba instan dan sangat tergantung teknologi digital itu juga benar. Kualitas anak-anak band sekarang ingin cepat populer sehingga dalam berkarya pun mereka sudah tidak memikirkan lagi kreatifitas dan inovasi, yang penting ikut saja. Gue pribadi nggak khawatir karena yakin sekali setelah era pop Melayu ini akan lahir lagi musik-musik berkualitas, entah itu dari rock, pop, jazz dan sebagainya. Bhita: Disini sepertinya musik sudah bisa menjadi kehidupan dan penghidupan. Karena semakin banyak orang yang bisa mendapat penghidupan dari musik akhirnya semakin banyak orang yang ingin terjun di sini, baik musisi yang instan maupun tidak. Dan makin jelas bahwa dengan musik kita bisa hidup dan diharapkan kita bisa hidup dari musik. Siklus yang dialami sekarang akan mengalami titik jenuhnya, tinggal bagaimana sekarang setiap orang bisa menjadi agent of change di lingkungan masing-masing untuk saling mempengaruhi. Harus dibentuk barisan untuk membuat antisipasi dan perubahan sebelum semuanya jatuh dan terulang lagi siklus ini.






SUMBER: ROLLING STONES INDONESIA