News

Friday, September 3, 2010

 INILAH MUSIK INDONESIA HARI INI




Ledakan musik populer Indonesia belakangan ini adalah sebuah fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya di masa lampau, bahkan sejak republik ini berdiri 64 tahun yang lalu. Hari ini musik Indonesia telah sukses menduduki singgasana sebagai tuan rumah di tanahairnya sendiri. Sebagian besar penikmat musik di Indonesia lebih menggemari musik dari artis-artis nasional, bahkan lucunya Malaysia pun tengah dilanda ketakutan musik Indonesia bakal menjadi tuan rumah pula di negara mereka.

Perkembangan teknologi musik digital, demokratisasi bahkan otonomi daerah diduga menyumbang terbesar pada perubahan peta dalam kancah musik Indonesia saat ini. Semua orang bisa menjadi musisi, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi superstar, entah ia berasal dari Kalimantan Selatan, Lampung, Sukabumi, Bogor, Padang atau Makassar. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta atau Surabaya tidak lagi mendominasi proses reproduksi superstar di negeri ini. Semua sama.

Dengan hadirnya kembali dukungan dari berbagai stasiun TV, yang pernah malas mendukung musik Indonesia kecuali dangdut - beberapa tahun lalu, membuat musik Indonesia tampil semakin bergairah walau notabene problem-problem berikutnya juga muncul ke permukaan.
Diluar sistem bisnis dan industri musik yang masih amburadul, pembajakan musik yang makin merajai penjualan, kualitas musik populer Indonesia hari ini juga semakin digugat oleh sebagian kecil masyarakat. Sementara sebagian besar masyarakat lainnya seperti tidak peduli dan malas berargumentasi. Sembari asyik membeli CD atau MP3 bajakan, mendownload musik 30 detik ala ringback tone, bergembira ria atau berusuh ria di konser-konser gratis hingga terinspirasi membuat lagu setelah berselingkuh adalah fenomena yang nyata menggejala di masyarakat kita belakangan ini.
Dalam rangka menyambut Hari Musik Nasional pada 9 Maret mendatang, Majalah Rolling Stone Indonesia setiap tahunnya selalu mengundang para pelaku sekaligus figur signifikan di dalam industri musik guna membicarakan perubahan atau perkembangan paling mutakhir yang terjadi di blantika musik nasional sekarang ini. Setidaknya dalam genggaman mereka lah tercipta kemajuan [mungkin juga kemunduran?] pada musik populer Indonesia hari ini.
Berikut adalah profil para panelis dari focus group discussion yang diselenggarakan pada awal Februari silam di Rolling Stone Headquarters di bilangan Ampera, Jakarta. Mereka adalah:

FARIZ RM : Salah seorang arsitek musik pop Indonesia yang tahun lalu ditahbiskan sebagai satu dari 25 musisi The Immortals versi majalah ini.  
RAHAYU KERTAWIGUNA : Managing Director Nagaswara Records yang merilis di antaranya album-album milik Kerispatih, Wali, T2, Seventeen dan bahkan Soesilo Bambang Yudhoyono. Figur yang sangat pro-aktif dalam memberantas pembajakan musik di Indonesia dengan mendirikan .  
BHITA HARWANTRI : Music Director I-Radio FM Jakarta, radio berpengaruh pertama di Indonesia yang memberikan dukungan sepenuhnya hanya dengan memutar musik populer Indonesia. Memiliki jaringan di Bandung dan Yogyakarta. EKO YUDIYANTHO : Music Director Cosmopolitan 90,4 FM sekaligus Ketua Asosiasi Music Director Indonesia [AMDI]. Organisasi satu-satunya yang menaungi para music director stasiun radio di Indonesia. KRISNA J. SADRACH : Pemain bass sekaligus leader band thrash metal pionir Suckerhead yang juga berprofesi sebagai Produser Musik bagi Ungu, ST12 dan Sindentosca. DUTO SULISTIADI : General Manager Production SCTV [Surya Citra Televisi] yang ikut mempelopori kembalinya musik Indonesia ke televisi dengan melahirkan program musik seperti Hip Hip Hura dan Inbox yang menjadi role model bagi seluruh stasiun TV swasta. CHOLIL MAHMUD : Pemain gitar, vokalis sekaligus konseptor musik dan lirik Efek Rumah Kaca, band yang didaulat ikut membawa perubahan bagi musik Indonesia dan pernah membuat hit indie Cinta Melulu. DENNY SAKRIE : Pemerhati/penulis/sejarawan musik populer Indonesia sejak 1985 dan sempat menjadi music director radio rock M97 FM serta penyiar di Radio Suara Irama Indah, FeMale, Delta dan M97 FM. ANTON WAHYUDI : Program Director Otomotion FM dan mantan Music Director Prambors Rasisonia. Ketika hadir ke diskusi ia masih menjadi A&R Manager NuBuzz Network. * * *
Bagaimana kualitas musik Indonesia hari ini? Banyak yang bilang tengah menurun? Fariz RM: Masing-masing dari kita punya peran dan tanggungjawab, yang nggak ada adalah sinergi dari peran itu. Sehingga kita tidak pernah punya standar kualitas, kita berbicara sesuai dengan kepentingan masing-masing yang sesuai dengan kerja profesional kita. Tapi kita tidak pernah punya standar tentang kualitas musik Indonesia itu apa?
Kalau bicara kualitas sekarang ini pasti akan membingungkan, karena akan bergerak sesuai kepentingan masing-masing. Pihak label pasti akan bicara apapun asal menyelamatkan bisnis mereka dulu, itu yang menjadi standar mereka. Sementara media ingin mengakomodasi apa yang ingin didengar orang banyak. Makanya kita perlu menetapkan standarnya dulu sebagai tolok ukurnya. Duto: Sebagai orang SCTV dan bekerja di media massa maka yang saya pikirkan adalah massa-nya saja. I dont care about the quality. Saya nggak peduli dengan kualitas. Semakin banyak pelaku, pebisnis, label rekaman maka semakin bagus. Kenapa? Karena saya hidup sudah beberapa dasawarsa dengan beberapa pemerintahan. Di jaman Soeharto, dulu nggak boleh begini, nggak boleh begitu. Semua harus sempurna sesuai dengan kemauan dia.
Kalau sekarang mau ditanya musik seperti apa yang saya mau? Sebenarnya musik yang seperti sekarang ini ke depannya, terlepas dari bisnis ya, kita berbicara kualitas sekarang. Kalau dulu kita harus menahan diri untuk mengekspresikan diri, semua harus cantik, semua harus ganteng, liriknya harus bagus, harus puitis. Dulu karena faktor pemerintah yang ketat mengontrol, kalau bukan pemerintahnya yang mengontrol maka elemen yang lain mengeluarkan fatwa. Kalau sudah mengeluarkan fatwa di Indonesia maka semuanya berbahaya.
Musik seperti sekarang inilah yang saya inginkan. Begitu banyak musik beraneka ragam, banyak pelakunya. Kalau saya bilang hingga ke lima tahun ke depan I dont care about the quality, saya ingin mendengar musik Indonesia yang beraneka ragam. Bagaimana peran radio sekarang ini di Indonesia? Eko: Dari dulu sampai sekarang radio punya standar karena setiap musik apapun yang masuk ke radio maka dia akan tergeneralisasi secara alamiah, artinya ini adalah musik pop, rock tanpa harus melihat apapun jenis radionya. Sulitnya ketika radio juga masuk ke era segmentasi dimana ada radio untuk cowok dan radio untuk cewek, terutama di Jakarta, karena teman-teman radio daerah lebih umum biasanya. Jadi kalau ada band yang bisa ngetop di Jember dan memiliki banyak massa penggemar mungkin itu berkat peran TV lokal di daerah mereka yang berusaha untuk memunculkan artis-artis yang ada di kawasan mereka. Radio sebenarnya bisa memutar segala jenis musik cuma kembali ke masing-masing policy stasiun radionya lagi. Radio A misalnya tidak bisa memutar lagu yang sepeti apa. Kenapa tidak bisa memutar? Karena persepsinya status sosial ekonomi masing-masing radio, apakah segmen A, B, C, D.
Kenapa akhirnya kami membuat asosiasi music director karena kami memperhatikan kinerja music director harus benar-benar independen dan bebas. Harus terinspirasi dengan musiknya. Ketika ia mendengar musik maka ia harus mampu menerjemahkan, kapan waktu yang tepat untuk memutar musik tertentu di radio mereka. Tapi setelah kembali ke policy-nya music director [MD] akan menjadi sangat sulit karena kita harus selalu berada di tengah-tengah. Adib: Apakah radio ikut menurunkan kualitas musik yang diputar? Eko: Pasti. Selama sepuluh tahun terakhir kami juga berevolusi karena gue mengakomodir kepentingan teman-teman MD. Gue tahu persis radio apa yang tidak memutar sebuah lagu tapi kemudian ikut memutar lagu itu. Bukan karena MDnya suka atau tidak suka tapi lebih karena menurunkan kriteria musik top level untuk ikut mendukung musik yang sedang menjadi fenomena di masyarakat. Jadi kami harus mengakomodir juga. Apakah ini bentuk evolusi atau kompromi radio? Bhita: Kompromi itu menurut gue salah satu bagian dari evolusi. Bagaimana kita berkembang. Ada banyak faktor di dalamnya. Ketika bicara musik di Indonesia mau nggak mau kita berbicara bisnis. Menurut gue ini seperti teori ayam dan telur, siapa yang ngikutin dan siapa yang lebih dulu? Kalau sekarang TV melihat ke radio dulu mana lagu yang hits kayaknya sudah tidak seperti itu lagi karena pada akhirnya sekarang banyak radio yang terdesak karena di TV perputaran video klipnya cepat sekali. Lagunya sudah tayang di televisi tapi di radio belum memutar sementara orang sudah banyak yang me-request. Eko: Kalau Mas Duto bilang tadi nggak peduli dengan kualitas karena pada akhirnya yang menentukan adalah selera masyarakat. Kami juga pernah bincang internal dengan teman-teman di radio, setuju dengan Mas Fariz, harus ada standar penilaian yang menjadi jembatan. Kami inginnya lepas dari policy perusahaan, pengennya semua musik bisa diakomodir.
Karena kami adalah pihak yang paling rewel di bagian programming radio maka kami ingin sekali mereka juga teredukasi, bukan berarti mengajarkan masyarakat tetapi memberikan pilihan bahwa ada juga musik-musik lain yang perlu didengarkan. Itu pembahasan beberarapa tahun lalu dimana sering banget topik ini muncul di mailing list, dituduh musik sampah dan sebagainya. Sebenarnya radio tidak berpandangan seperti itu. Sekarang dari beberapa elemen masyarakat kami juga diserang. Kok radio maininnya yang itu-itu saja. Apa yang ada di kepala Cholil ketika menciptakan hit indie Cinta Melulu?
Cholil:
Kalau dari sejarah terbentuknya lagu itu karena memang jenuh, dimana-mana secara mainstream, baik di TV, radio, sepertinya nggak ada topik lain yang dibahas dalam sebuah lagu. Padahal kita sebenarnya kaya sekali tema-tema lagu di jaman dulu. Semua pihak sepertinya harus memiliki visi yang sama dulu jika ingin berbicara tentang kualitas, mungkin seharusnya pemerintah harus ada wakilnya disini karena mereka memegang peranan juga agar orang dapat mengapresiasi musik yang berkualitas.
Mereka harus memperhatikan bagaimana membuat program pendidikan yang membuat individu tertarik untuk mengapresiasi musik yang berkualitas, seandainya itu yang menjadi ukurannya. Baru setelah itu kita baru bisa berbicara ke masing-masing media, kalau media massa hanya mementingkan massanya saja sekarang pertanyaanya dibalik, bisa nggak yang berkualitasnya juga diapresiasi oleh massa? Kalau massanya sudah cerdas semestinya musik yang berkualitas juga bisa diapresiasi oleh massa. Harusnya begitu. Bagaimana dengan anggapan kalau orang Melayu cenderung suka mendayu-dayu seperti lirik yang Anda tulis di lagu itu? Cholil: Kalau masalah Melayu seperti itu memang perlu penelitian lebih lanjut. Tetapi konotasi Timur cenderung minor dan mayor cenderung ke Barat agaknya memang begitu. Suasana kord minor lebih gelap biasanya dibanding kord mayor dan itu membawa ke arah melankoli. Tapi Melayu di lirik saya juga bisa berarti me..layu. Dualisme penafsiran, itu juga sebuah pertanyaan, apakah karena kita memang Melayu yang terpengaruh notasi timur yang cenderung gelap sementara gelap itu cenderung melankolis dan sendu-sendu. Fariz RM: Itu kan pendapat, sah-sah saja memberikan pendapat. Dan pendapat patut jadi pemikiran. Gue pernah menulis juga misalnya, jangan skeptis dengan Kangen Band, siapa bilang Kangen Band nggak kreatif? Memangnya gampang membuat musik seperti Rinto dulu? Susah juga. Dan bahwasanya mereka kemudian berhasil merebut animo masyarakat itu bukan hal gampang. Coba aja dibikin. Kalau bisa dibikin, susah itu. Makanya dulu gue nggak sependapat dengan pendapat teman-teman yang membuat istilah pop kreatif, sembarangan. Karena bikin lagu seperti Rinto itu kreatif juga. Bagaimana kontribusi label terhadap kualitas musik Indonesia itu tadi? Pak Rahayu: Label sebetulnya nggak semata-mata melihat peluang bisnis bagus dan langsung memproduksi musik sekarang yang agak dimusuhin oleh radio yaitu lagu-lagu pop Melayu. Tetapi secara prinsip label itu juga harus mengerti selera pasar, karena kami berdagang kan? Meskipun dia juga memiliki idealisme sendiri.
Kalau saya setiap memproduksi nggak semata-mata mengaca ke pasar juga, terkadang ada idealismenya tapi secara global kami juga berpikir setidaknya 50- 50. Yang 50% orientasi pasar dan 50% spekulasi saja. Misalnya ada trend musik baru kami coba juga dan kalau tidak laku kami bisa eksploitasi di pasar yang 50% sisanya tadi. Bagaimana menyiasati bisnis musik di kondisi industri yang semakin sulit sekarang ini? Rahayu: Tentunya kalau di label kami berusaha mengubah infrastruktur, misalnya dengan memaintain kembali single-single, nggak selalu harus membuat album, karena di TV sekarang seperti program Inbox, Dahsyat, dan sebagainya sekarang lebih kompilatif. Kalau kami merilis album keenakan pembajaknya tetapi kalau kami merilis single, kami lihat dulu, dibajak atau nggak?
Kalau dibajak syukur. Saya mensiasatinya dengan memasang kode RBT, syukurlah kalau dibajak buat promosi juga [Tertawa]. Capek juga saya menangkapi pembajak ini, duit habis sementara polisinya dapat dari kanan-kiri. Jadi kami mensiasatinya. Daripada cost polisi kami buang begitu-begitu saja, lapor ke presiden juga begitu-begitu saja, lebih baik kami siasati dengan kode-kode itu. Orang anggap itu kode-kode buntut, masa bodo, yang penting dipasang, kami dapat profit dari RBT. Begitu menyiasatinya, kami sudah capek. Bagaimana Nagaswara memandang musik berkualitas?
Rahayu:
Kualitas musik artis kami tergantung segmennya. Kalau artisnya seperti Kerispatih maka kualitasnya lebih dominan tetapi kalau dapatnya sekelas Kangen Band atau Wali ya cingcai-cingcai aja deh [Tertawa]. Nggak perlu yang bagus-bagus rekamannya. Karena lucu juga suatu kali vokalis Wali dikasih mic yang bagus, vokalnya malah nggak bagus, sementara dikasih mic yang Cuma seharga Rp 800 ribu malah bagus. Bingung juga jadinya, benar-benar kejadian itu. Aneh. Banyak rilisan dari Nagaswara yang nggak banyak berbeda musiknya?
Rahayu: Sebenarnya ada yang beda kok. Sebenarnya yang baru rilis saja hampir sama tapi sebenarnya ada juga yang kayak rock & roll cuma belum sempat rilis saja, masih melihat kondisi pasarnya juga. Kalau masalah udah menumpuk kalau kami nggak rilis yang lain keluar juga. Sama saja. Apakah benar rekaman format fisik hanya sebagai pajangan di toko saja, label sekarang lebih fokus menjual ringback tone?
Rahayu:
Ya, hampir boleh dibilang seperti itu. Karena maintain toko juga susah, kecuali kalau kami punya toko sendiri, lebih bagus. Kalau misalnya kami nitip ke toko, mereka juga memilih produknya, jadi ada sistem kuota. Kalau dulu shipped out bisa sampai 50.000 keping sekarang ini 2.000 atau 3.000 aja sudah lemas, dan ini untuk peredaran di seluruh Indonesia. Udah capek semua label sekarang ini. Kecuali untuk album Mahadewi mungkin masih banyak yang berani, tapi kalau album untuk artis baru udah banyak yang nggak berani ambil. Bagaimana jika ringback tone sudah tidak laku lagi?
Rahayu:
Ya, Tuhan Maha Adil lah. Kami sudah dizhalimi masak Tuhan membiarkan saja? [Semua tertawa] Belum ada pengganti ringback tone?
Rahayu:
Sekarang sih lagi mencari, sedang diterawang, tanya ke ahlinya juga. Tapi di Indonesia masih berbahagia lah, kita lihat bajakannya masih subur padahal kalau di luar negeri bajakan fisik sudah hampir nggak ada, sudah ditinggalkan. Ricky: Sekarang artis-artis musik dengan kualitas bermusik yang lemah dan rendah sepertinya mewakili selera pasar? Duto: Kalau di TV kami ada sekian aspek yang harus diperhatikan, entah teknis dan artistik. Terlepas dari suaranya mendayu-dayu tapi mereka punya pengaruh kuat yang bisa menghipnotis pemirsanya. Kami nggak melihat suaranya fals ketika nyanyi live, entah artis yang besar di rekaman atau di panggung. Kalau bicara kualitas saya pribadi lebih menikmati musik yang sekarang. Kalau artis jaman dulu penontonnya nggak boleh jingkrak-jingkrak, nonton musik pop saja kayak nonton musik klasik. Sulit sekali. Yang lebih dinikmati itu nggak cuma suara kualitatifnya tapi berkaitan dengan penikmatnya juga. Oleh karena itu Inbox menampilkan artisnya secara minus-one atau playback? Duto: Kalau itu masalah teknis saja. Kalau dibilang kualitas saya agak sulit ngomongnya, bagi saya pemusik itu lebih baik main live, ketimbang minus one atau playback. Contohnya Nidji, mereka potensial, vokalisnya punya kekuatan secara visual. Ketika mereka muncul musiknya bagus secara kualitatif untuk ukuran jaman sekarang tapi mereka harus latihan terus. Berbeda dengan di jamannya Fariz RM. Kualitas kan tidak hanya berkualitas repertoar musik saja tapi diatas panggung juga dong, itu semua satu paket di jaman sekarang. Bagaimana menurut produser rekaman kualitas musisi jaman sekarang? Krisna: Sudah sempat dibahas oleh Mas Duto yang senang dengan kondisi jaman sekarang karena semakin banyak band. Efeknya itu, yang jelek banyak juga. Bukannya nggak ada yang bagus. Mungkin gue termasuk orang yang idealis karena gue pemusik jadi gue sangat memperhatikan faktor teknis bermusik. Beberapa band atau artis ada yang gue tolak karena menyanyinya fals, sementara di tempat lain dengan mudah vokalnya di auto-tune. Kalau menurut saya jaman sekarang yang menurun itu adalah kualitas pemusiknya, bukan karyanya. Susah juga membuat karya musik seperti itu. Nyontek itu pun susah [Tertawa]. Ujung-ujungnya teknologi digital ini sangat mudah copy-paste atau membuat copy. Itu juga yang merusak kualitas di kondisi musik ini sendiri selain memang karena penjualannya sedang turun. Mungkin musik sebentar lagi akan mirip barang-barang ringan asal Cina seperti paku, peniti, kancing, barang-barang yang dijual murah. Kuantitasnya banyak tapi bukan resmi. Mungkin seperti itu tren berikutnya nanti. Jadi kalau kualitas musiknya menurun toh bisa di upgrade secara digital nantinya. Bagaimana kualitas musik Indonesia menurut pengamat musik? Denny Sakrie: Kalau musik pop selalu disinggung masalah kualitas itu sangat abstrak sebenarnya. Karena dulu juga jaman Rahmat Kartolo, lagu Patah Hati dituding sebagai karya yang tidak berkualitas. Itu salah besar. Suara ketika menjadi musik merupakan sutu olah kreativitas yang memiliki kualitas di segmen masing-masing. Alangkah tidak adilnya kalau musik pop dianggap kurang berkualitas jka dibandingkan dengan musik jazz. Entah kenapa akhir-akhir ini sudah dua kali edisi Kompas menurunkan artikel mengangkat istilah bangkitnya pop kreatif, memangnya sudah masuk kuburan atau gimana? Mungkin istilah yang tepatnya adalah musik R&B atau soul tapi bukan pop kreatif!
Sekarang ini kita lihat begitu banyak band yang tampil tapi yang dieskpos TV atau terdengar di radio atau lapak bajakan sangat seragam. Karena terlalu banyak sampai sulit membedakannya. Sahabat saya wartawan musik senior Theodore KS menulis di Kompas kalau lagu Ketahuan itu milik Kangen Band [Tertawa]. Saya t ahu ia menulis begitu karena musiknya terdengar sama. Itulah dampak dari begitu banyaknya band jaman sekarang, tapi di sisi lain sangat menarik karena ini perkembangan yang menggembirakan.
Kalau dulu digembor-gemborkan Menteri Penerangan Harmoko, Jadikan Musik Indonesia Tuan Rumah di Negeri Sendiri maka sekarang ini saatnya. Orang Indonesia sudah malas mendengarkan lagu barat. Biasanya anak-anak muda di ujung gang selalu nyanyi sambil main gitar menyanyikan lagu-lagu barat, sekarang nggak lagi, mereka semua menyanyikan lagu Indonesia. Apa yang 20 tahun lalu masih diimpi-impikan sudah terwujud sekarang. Mungkin kita pinggirkan dulu yang namanya kualitas karena itu adalah perdebatan yang tidak akan ada habisnya. Apalagi membanding-bandingkan genre musik tertentu, walau sesame genre pop, itu sangat tidak adil.
Seperti jaman dulu, lagu-lagunya Pance dibilang tidak berkualitas sementara Fariz RM dan Dian Pramana Poetra berkualitas, pop kreatif! Padahal kalau kita lihat musik pop ini adalah kepanjangan dari musik populer, musik yang mewakili selera masyarakat yang mungkin heterogen tetapi yang namanya musik pop yang masuk ke dalam kuping mereka adalah musik yang menghibur, kita nggak berbicara tentang musik apresiatif. Berarti jaman sekarang semua musisi dari daerah punya kesempatan sama untuk menjadi superstar di Jakarta, contohnya seperti band asal Lampung, Sukabumi, Kalimantan? Bhita: Itu sepertinya mereka belajar dari radja. Gue kurang tahu apakah sengaja atau tidak. Mereka awalnya agak ditolak di Jakarta dan setelah di album ketiga strategi mereka berubah, mengepung daerah, menciptakan demand yang tinggi di sana dan baru merangsek ke ibukota sehingga membuat radio-radio yang tadinya tidak memutarkan lagu radja akhirnya memutar lagu-lagu radja. Dan terbukti sukses. Strategi yang sama digunakan oleh band-band lainnya. Fariz: Nah, itu sebenarnya yang harus dihindari. Jangan sampai semua studio latihan di Sukabumi menyarankan membuat musik seperti Vagetoz. Sebagai produser Krisna pasti tetap menginginkan sesuatu yang baru. Yang salah adalah setelah Vagetoz terkenal semuanya seperti berlomba-lomba ingin menjadi Vagetoz berikutnya. Itu yang salah. Dan sepertinya itu yang disorot Cholil dalam lagu Cinta Melulu. Denny: Tapi itu memang ciri khas bangsa Indonesia, selalu menjadi epigon, pembebek. Satu sukses semuanya mengikuti. Bukan hanya dalam musik, apa saja. Bhita: Kalau di Indonesia segala sesuatu baliknya ke urusan perut, ekonomi. Apakah karena negara ini sedang susah sehingga masyarakat pada umumnya referensi musiknya tidak terlalu luas, mungkin sekarang yang beruntung adalah yang tinggal di kota-kota besar karena dengan internet referensi masyarakat kita semakin berkembang.
Kedua mereka sudah capek kerja, butuh entertainment, yang simple, bisa ketawa-ketawa, mereka nggak mau pusing memikirkan musik dan semuanya dijawab musik-musik yang ada di mainstream kita sekarang ini. Mau musisi membuat musik berkualitas, apapun standar kualitasnya dan berniat membuat musik berkualitas menjadi raja di negara ini, kalau masyarakatnya belum bisa menerima bagaimana?
Percuma kalau membuat musik bagus dengan harapan musik itu diterima khalayak banyak, sementara khalayak banyak itu ternyata nggak mau pusing-pusing mikirin itu. Yang mereka cari ternyata sejauh musiknya bisa dinyanyikan, liriknya gue banget, bisa main gitar sambil nyanyi dan selesai.
Makanya kalau gue sekarang ditanya seperti apa musik Indonesia? Fair saja gue jawab seperti ST12, Kangen Band. Masalahnya kita rela atau nggak? Apakah negara kita mau diasosiasikan dengan Kangen Band? Yang menurut gue sekarang album keduanya sudah jauh lebih baik, minimal di albumnya mereka sekarang sudah nggak terlalu fals lagi. Minimal secara ikhlas gue memutarkan lagu mereka di dalam playlist radio gue [Tertawa]. Fariz: Seperti itulah kenyataannya. Karena orang radio pasti akan selamanya menjadi pelayan dari demandnya, itu faktanya. Orang TV dan produser juga seperti itu. Tapi kita nggak bakal bisa menjadi penentu dari standar musik karena kita belum mendengarkan opini masyarakat luas. Duto: Sebenarnya mayoritas masyarakat kelas bawah kita itulah yang membeli musik Indonesia, entah itu rekaman versi bajakan atau orisinalnya. Kalau yang kelas menengahnya mungkin mereka sudah mampu beli iPod, tinggal copy musiknya selesai. Begitu juga mereka yang mengirim sms ke radio dan TV, mendownload RBT, masyarakat kelas bawah. Rahayu: Benar, mayoritas yang tinggal di daerah, luar Jakarta penikmat dan pembeli musik Indonesia itu. Kalau yang di Jakarta sudah sedikit banget pembelinya. Jika dibandingkan dengan keadaan musik Indonesia sepuluh tahun lalu ketika munculnya Sheila On 7, Padi, Cokelat sepertinya jauh sekali perbedaannya dengan sekarang? Fariz: Mungkin perkembangan teknologi juga berdampak di sini. Dulu rekaman masih sulit dan mahal sehingga setiap masuk studio rekaman musisinya harus bertanggung jawab moral terhadap karyanya. Sekarang semua komputer bisa memuat software studio, semakin mudah membuat musik. Kemudahan teknologi seharusnya membuat musisinya paham tanggungjawab dalam bermusik. Makanya saya sering bilang jaman sekarang kita kekurangan pemusik yang memang benar-benar pemusik. Sekarang tolok ukurnya popularitas, semua orang ingin masuk televisi. Krisna: Gue punya pengalaman yang membuat gue agak shock. Dua tahun terakhir ternyata banyak band atau artis yang sama sekali nggak punya konsep saat masuk ke studio rekaman. Mereka ingin rekaman, karena punya satu atau dua lagu yang bagus. Karena gue idealis maka gue tanya kalian maunya seperti apa musiknya? Referensinya apa? Baru nanti gue kembangkan. Yang terjadi belakangan ini sering, bukan sedikit ya, mereka bilang, Terserah aja deh, Mas. Yang penting gue bisa ngetop! Itu nggak pernah ada jaman kita dulu. Jadi dibebankannya ke gue [Tertawa]. Bagaimana caranya membuat mereka bias ngetop? [Tertawa]. Gue jawab, Kalau gue bias, gue sudah ngetop duluan! [Tertawa]. Gue aja nggak ngetop, bagaimana bisa membuat elo ngetop? [Tertawa] Banyak terjadi penurunan moral di musisi sekarang. Cholil: Kalau menurut gue itu berkat campur tangan kita juga. Setiap tingkah laku kita memiliki dampak sosial membuat orang ingin ngetop. Pasti ada dampak positif dan negatif. Menurut gue kehadiran kita disini seharusnya bisa meminimalisir dampak negatif sosialnya. Kalau memang kita sepakat kualitasnya nggak menurun berarti kita nggak perlu berbuat apa-apa. Tapi kalau ternyata menurun apa yang harus dilakukan agar dampaknya bisa diminimalisir?
Misalnya kayak orang menyanyi lagu Selingkuh perlu diriset. Apakah kemudian menjadi semakin banyak orang yang melakukan prilaku selingkuh? Menjadi sesuatu yang biasa, apakah wajar? Orang jadi permisif dengan perselingkuhan. Itu kan termasuk dampak sosial dari lagu tersebut. Dan itu mungkin akibat prilaku industri yang tidak kita sadari. Dan pemusiknya juga mesti sadar kalau lagu dia berdampak sosial di masyarakat. Orang radio dan orang TV seharusnya memiliki visi yang sama tentang itu sehingga pondasi industrinya bisa dibangun lebih bagus. Fariz: Menurut gue apa yang terjadi sekarang ini adalah siklus aja. Kita pernah mengalami seperti ini sebelumnya di jaman A. Riyanto dan kawan-kawan. Kalau sekarang banyak orang bilang band hari ini musiknya sama saja, biarkan saja, pasti nanti akan habis. Dan setelah itu akan kembali lagi beraneka ragam. Memang kalau mau melihat era 70-80an kalau ada 10 artis maka beda semua musiknya, Ebiet G. Ade, Vina Panduwinata, Gombloh, Ahmad Albar, termasuk gue sendiri. Jaman itu pun TVRI punya program musik jazz, seriosa, pop masing-masing. Sekarang banyak TV tapi seperti nggak banyak pilihan. Kita harus setiap kali menyiasatinya. Pasar itu nggak bisa kita duga, sampai kapan pun nggak akan bisa kita prediksi. Duto: Elemen paling kuat untuk mengendalikan ini sebenarnya produser dan radio. Itu elemen terkuat. Jaringan radio paling kompak di Indonesia. TV terus terang saja industri baru, baru 20 tahun, sementara radio sudah berapa puluh tahun perjalanananya di sini. Industri TV masih baru lah, kalau mau di rem mungkin berawal dari industri radio dulu. Contohnya lagu-lagu bertema selingkuh, ketika sudah tahu kalau jaringan radio kompak maka tema selingkuh bisa disudahi dulu. Dikurangi dulu dan naikkan tema lain. Karena TV pada dasarnya mendengar radio, para produser dan pengarah musik di TV adalah pendengar radio juga… Denny: Cuma masalahnya, tema selingkuh itu ada karena orang terinspirasi saat menonton infotainment, itu dari TV juga. Semuanya hampir seperti itu. Apalagi orang lebih tertarik menyaksikan audio visual daripada mendengarkan radio… Duto: Cuma kita kan nggak mau seperti di Amerika dong. Dimana lirik rap isinya ajakan untuk membunuh orang. Dibandingkan tema itu, selingkuh masih anu lah ya… Cholil: Artinya kalau TV bisa punya batasan lirik untuk tidak membunuh orang, mungkin TV seharusnya punya batasan juga terhadap hal-hal yang berdampak negatif di masyarakat. Walau sifatnya hiburan pun tetap bisa mengedukasi seharusnya. Fariz: Idealnya kita memiliki filter dalam diri sendiri dulu, tapi dengan tidak mengekang kebebasan berekspresi. Itu kenapa akhirnya gue tidak pernah menciptakan lagu bertema selingkuh karena menurut gue masih banyak masalah lain yang lebih penting. Bagi gue sendiri juga malu untuk mengungkapkan hal itu ke publik karena tema selingkuh nggak membuat gue menjadi enak untuk berkarya. Seperti lagu Ketahuan, well, cmon, mereka kayak nggak bisa melihat masalah lain di dunia saja. Gue nggak mencaci lagu itu tapi kayaknya lagu seperti itu nggak mencerminkan intelektualitas, nggak mendidik. Seperti nggak memiliki tanggung jawab moral apapun bagi bangsa atau negara ini. Bagaimana dengan hit yang datang dari indie seperti Kepompong milik Sindentosca, misalnya?
Anton:
Mungkin itu kebetulan yang ada rumusnya. Benchmarknya ke market. Kami melihat bagaimana mengcapture selera pasar yang nggak bisa di drive sama siapapun. Karena market bisa dibilang terbentuk sendiri. Kalau ada produk yang berhasil di pasaran menurut saya itu karena ada marketnya. Kalau sebelumnya produk itu belum ada dan dia pelopornya berarti pembuatnya tahu kalau musik seperti itu ada pasarnya. Penciuman itulah yang menjadi penting di industri.
Walaupun saya termasuk pendatang baru di produksi musik namun kami percaya kalau single Kepompong itu temanya jauh dari tren hari ini, liriknya pun berbeda. Sementara kalau Efek Rumah Kaca ini menurut saya smart sekali bias mengcapture market yang masih kosong. Saya nggak tahu apakah ada pertimbangan marketing juga atau tidak. Kolamnya belum penuh, jarang ada yang bermain disana. Sementara kalau mau main di pop melayu kolamnya sekarang semakin padat, mungkin sudah seperti laut. Bagi sebagian kecil orang artis indie adalah penyelamat kualitas musik Indonesia tapi ironisnya kurang mendapat dukungan dari radio atau TV? Cholil: Kalau di radio mungkin lebih mending daripada TV. Karena tren radio memang di kota besar seperti Jakarta, menciptakan musik yang berbeda dan mungkin itu yang diminta para pendengarnya. Sementara TV yang memiliki pengaruh besar dan cakupannya nasional agak sulit. Entah karena standar broadcast video klipnya kurang bagus atau memang harus pakai dana operasional. Mungkin labelnya harus bayar kalau video klipnya ingin ditayangkan. Kayaknya seperti itu deh di beberapa stasiun TV.
Sekarang tinggal seberapa peduli pihak TV akan keberlangsungan industri musik ini nantinya? Apakah perlu dipertimbangkan mendukung musik mereka yang katanya bagus ini? Manajer kami sempat bertanya ke stasiun TV mengapa mereka menayangkan video klip Cinta Melulu padahal videonya biasa saja dan lirik lagunya justru menyindir band-band yang dibarengin di sana. Jawabannya karena airplay di radionya kencang dan demandnya besar. Akhirnya TV meruntuhkan standar mereka sendiri. Duto: TV biasanya kalau ada album atau artis baru dipromosikan melihat dulu, apakah sudah bunyi di radio atau belum? Bagi indie bukannya nggak punya lahan, kami punya, tapi bagaimana secara jeli melihatnya. Karena di TV kami biasanya nggak berani masang artis kalau mereka musiknya belum diputar di radio minimal dua minggu sebelumnya, contohnya di Inbox. Masalah popularitas artis indie dipertimbangkan juga untuk masuk televisi? Duto: TV itu adalah salah satu media perantara untuk mengantar jenjang karir artis ke level berikutnya. Setelah radio memutar baru TV nanti melihat. TV itu kan bisnis bangetlah. Walau sifatnya musik alternatif tapi harus tetap punya lahan. Kalau di TV trennya sangat gampang berubah, tergantung ownernya. Dan itu juga tetap tergantung kinerja kreatif anak buahnya. Kalau praktik membayar secara illegal agar video klip ditayangkan di TV? Duto: Kalau di Inbox nggak ada seperti itu. Jika harus membayar kalau ketahuan pasti dipecat. Bhita: Gue pikir itu tidak tertutup hanya di TV saja, media-media lain pun mungkin ada juga, entah secara resmi atau tidak resmi. Mereka menyatakan kalau lagu bisa dihitung sebagai iklan, karena itu branding juga. Kalau berhak menjadi materi iklan kenapa tidak? Itu strategi media yang sampai kapanpun akan tetap ada karena termasuk strategi pemasaran. Sebagai artis, label atau produser pasti akan menempuh cara apapun agar musik mereka di dengar, nggak perlu sampai ngetop dulu. Masyarakat suka atau tidak urusan belakangan. Bhita: Kalau Mas Fariz dulu bilang kita pernah mengalami situasi seperti ini dengan artis-artis solo dan sekarang jamannya band-band pop Melayu. Fenomena ini mau tidak mau sudah terjadi dan nggak bisa dihindari. Sekarang yang bisa kita lakukan adalah bagaimana supaya, satu, mempercepat bola salju ini agar orang semakin jenuh atau saat keadaan sedang begini kita selipkan lagu-lagu yang bagus tapi tidak dilakukan sendiri-sendiri, mesti beramai-ramai. Bagaimana dengan nasib musik rock di radio dan TV sebagai bagian dari musik Indonesia? Bhita: Dulu kami pernah punya program untuk musik rock di I-Radio, namanya I-Rock Kasta yang tidak akan mungkin diputar di radio-radio lainnya karena sangat tidak radio-friendly dan sekarang di drop karena ratingnya tidak pernah bagus dan tidak radio sound. Bayangkan saja penyiar gue bilang, OK, kita nikmati lagu berikut ini dari Siksakubur dan berikutnya dari grup Kembang Kuburan [Tertawa]. Dan yang di dengar adalah suara growling. Seringai saja yang dulu gue putar musiknya sekarang tidak bisa lagi karena tidak ada acaranya. Untuk I-Radio akhirnya gue lebih melihat kalau radio itu menghibur dan menyiarkan musik-musik yang mass-product. Duto: Kalau di TV, rock sekarang generasinya cenderung vandalisme. Dalam arti kelompok penikmatnya rusuh. Contohnya kami ngeri kalau memainkan Slank bersama artis-artis pop lainnya. Mengapa? Karena yang paling duluan datang ke venue pasti Slankers. Cenderung rusuh. Setidak-tidaknya yang pop ditimpukin. Repot juga jadinya. Kecuali kalau mereka main sendiri atau dimainkan dengan band-band rock sejenis itu masih lebih mendingan. Dan terkadang secara visual untuk ukuran TV juga penampilannya agak ngeri. Kesimpulan dan harapan kalian demi masa depan musik Indonesia? Denny: Musik Indonesia dalam perkembangan lima tahun terakhir ini terbilang luar biasa karena telah berhasil menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Hampir 90% orang Indonesia sekarang ini menyanyikan lagu-lagu Indonesia. Pemandangan yang sangat jarang terjadi pada dekade-dekade sebelumnya. Sekarang orang bangga menyanyikan lagu Indonesia. Banyaknya band juga hal yang bagus secara kuantitas tapi memang selalu terjadi siklus di industri, pengulangan dari beberapa dekade sebelumnya.
Saya ingat akhir tahun 60an ketika Koes Plus merajalela saat itu dan mereka menjadi role model sehingga semua band yang ada hampir semuanya ingin menjadi mereka. Sampai mencapai titik kulminasi hingga pertengahan tahun 70an muncul album Badai Pasti Berlalu yang meng-counter lagu-lagu yang disebut Remy Sylado sebagai pop cengeng. Mungkin sama dengan pop menye-menye sekarang akan mencapai titik kulminasinya juga. Dengan kemunculan band-band indie seperti Efek Rumah Kaca, SORE dan sebagainya mudah-mudahan bisa meng-counter epigon-epigon atau para pembebek di musik kita. Eko: Gue sangat optimis karena sekarang banyak sekali musisi-musisi baru yang muncul, idealnya dengan begitu akan banyak pilihan bagi masyarakat. Dan radio sebagai pelaku industri optimis juga, selain menjadi pelayan pendengar juga memberikan sesuatu yang bersifat edukatif bagi pendengarnya. Ditambah lagi besarnya dukungan TV sekarang ini akan semakin cerah masa depannya nanti. Kalau bicara kualitas untuk ukuran Asia Tenggara, musisi Indonesia masih paling bagus. Melihat banyaknya band-band pop Melayu di pasar sekarang ini dibiarkan saja karena gue percaya akan hukum alam, only the fittest will survive. Fariz: Yang paling penting kita bersama-sama harus mengambil peran demi kemajuan musik Indonesia, jangan sendiri-sendiri. Setidaknya dengan band-band yang semakin banyak sekarang ini mereka akan mengalami seleksi alam juga. Sedikitnya mereka seharusnya berjuang keras selama dua atau tiga tahun untuk mencapai mimpi mereka menjadi musisi terkenal seperti yang Krisna bilang tadi. Duto: Kondisi musik sekarang itu sebenarnya membahagiakan. Banyak pelaku dan artis-artis baru yang muncul. Masalah kualitas itu urusan selera masing-masing. Masyarakat kita sekarang ini juga sudah dewasa dan pintar, mereka bisa memilih yang terbaik bagi mereka sendiri. Dinikmati saja sekarang ini musik Indonesia. Cholil: Pasar musik ini sebenarnya mengambang. Bagaimana kita sebagai para pelakunya, entah artis, media massa, label, produser, bisa mengarahkan mereka ke arah yang tepat dan berkualitas. Bagaimana juga kita memperhatikan tanggung jawab sosial dari pekerjaan kita masing-masing ini. Semoga masyarakat luas itu juga bisa mengapresiasi musik-musik yang berkualitas. Bukan kuantitas penjualan saja yang diperhatikan. Krisna: Kalau dibilang kualitasnya menurun gue setuju, terutama karena siklus tadi dan itu akan berputar terus. Mengenai penurunan kualitas musisinya sendiri yang sekarang serba instan dan sangat tergantung teknologi digital itu juga benar. Kualitas anak-anak band sekarang ingin cepat populer sehingga dalam berkarya pun mereka sudah tidak memikirkan lagi kreatifitas dan inovasi, yang penting ikut saja. Gue pribadi nggak khawatir karena yakin sekali setelah era pop Melayu ini akan lahir lagi musik-musik berkualitas, entah itu dari rock, pop, jazz dan sebagainya. Bhita: Disini sepertinya musik sudah bisa menjadi kehidupan dan penghidupan. Karena semakin banyak orang yang bisa mendapat penghidupan dari musik akhirnya semakin banyak orang yang ingin terjun di sini, baik musisi yang instan maupun tidak. Dan makin jelas bahwa dengan musik kita bisa hidup dan diharapkan kita bisa hidup dari musik. Siklus yang dialami sekarang akan mengalami titik jenuhnya, tinggal bagaimana sekarang setiap orang bisa menjadi agent of change di lingkungan masing-masing untuk saling mempengaruhi. Harus dibentuk barisan untuk membuat antisipasi dan perubahan sebelum semuanya jatuh dan terulang lagi siklus ini.






SUMBER: ROLLING STONES INDONESIA

No comments:

Post a Comment